Yogyakarta, Zinews – “Dikirim sekolah untuk menjadi sarjana dan pulang membawa ijazah, tapi siapa sangka yang pulang peti berisi jenazah”.
Demikian kalimat awal dalam press release yang dikeluarkan oleh Keluarga Besar Dewan Pimpinan (DPD) Pemuda Batak Bersatu (PBB) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bersama para tokoh Agama, Tua-tua Batak, dan lainnya yang cinta akan Yogyakarta, Sabtu (14/05/2022) untuk menyikapi sebuah tragedi yang menimpa 2 (dua) mahasiswa yang sedang menimba ilmu. Simak isi petikan rilisnya;
Sungguh menyakitkan rasanya menjadi keluarga David Siallagan Mahasiswa ISI Yogyakarta, Asal Pematangsiantar, Sumatera Utara dan Tegar Imam Prakarsa, Mahasiswa Atma Jaya Yogyakarta, Asal Bangka Belitung, anak yang diharapkan menjadi penerus keluarga, justru meninggal karena dibunuh.
Apakah pembunuhan ini persoalan para korban saja? Tidak! Bagi kami Pemuda Batak Bersatu bersama seluruh Elemen Masyarakat Batak dan Masyarakat Bangka Belitung khususnya melihat persoalan kekerasan yang mengakibatkan kematian belakangan ini menjadi persoalan semua masyarakat Yogyakarta.
Kami melakukan aksi ini juga untuk mewakili suara-suara yang berbisik karena khawatir akan keselamatannya terancam jika bersuara lantang. Kekerasan demi kekerasan kerap terjadi di Kota Yogyakarta akhir-akhir ini, tentulah pihak Kepolisian mengetahui dengan jelas perihal itu.
“Jogja tak seperti dulu”, itulah pernyataan yang kerap kami dengar dari teman-teman alumni yang pernah tinggal dan hidup di kota ini. Sungguh tragis menyaksikan situasi keamanan Yogyakarta hari-hari ini.
Menghabisi nyawa seseorang melalui empat tusukan menjadi hal yang mudah dilakukan di jalanan. Alibi membela diri, empat tusukan dititik vital hanya dapat dilakukan orang yang terlatih. Terpukul, sangat terpukul bagi kami masyarakat Batak di Yogyakarta yang telah tinggal menetap lama di kota ini. Kami melihat satu kehidupan begitu berarti, namun nyatanya nyawa adik kami begitu mudah diambil orang yang bertingkah sebagai preman, angkuh, pongah, dan bangga dalam perilaku yang menyimpang. Berbekal senjata tajam lalu lalang di kota yang awalnya penuh keramahan dan kedamaian.
Dahulu Jogja dikenal kota yang ramah, tak perlu khawatir keluar rumah jam berapa saja. Bahkan club vespa kerap membantu orang-orang yang mogok di jalan tengah malam. Namun, hari-hari ini tampaknya setiap orang penuh rasa khawatir dan curiga, kecuali para pelaku kekerasan itu sendiri, berbekal senjata keliling-keliling kota.
Kenakalan remaja sudah berubah wajah menjadi kejahatan jalanan yang menakutkan. Sampai kapan, jika Negara tidak bertindak tegas terhadap hal ini? Apakah keramahan Jogja yang kita kenal dulu sudah berakhir? Berubah wajah, menjadi kota yang sejuk dan basah bagi para penikmat darah sesama?
Dalam Aksi Damai ini, kami masyarakat Batak Yogyakarta menyuarakan kepada Pemerintah Daerah, Negara dalam hal ini diwakili oleh Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Tentara Nasional Indonesia untuk bertindak tegas terhadap segala aksi premanisme dan kekerasan, juga peka terhadap aktivitas oknum-oknum tertentu yang terlibat dalam aksi dan kegiatan premanisme di seluruh wilayah Yogyakarta.
Sesuai Konsep PRESISI KAPOLRI, transformasi menuju POLRI yang prediktif, responsibilitas, transparansi yang berkeadilan. Bahwasannya Anggota POLRI diharapkan memiliki kemampuan memprediksi situasi dan kondisi yang menjadi isu dan permasalahan serta potensi gangguan KAMTIBMAS berdasarkan analisa data, fakta, dan informasi. Kepolisian diharapkan lebih peka dan sensitif terhadap suara-suara bisik masyarakat yang mengeluhkan aktivitas premanisme yang kerap mengintimidasi, mengancam, dan meneror masyarakat di wilayah kota Yogyakarta.
Negara tidak boleh kalah dengan premanisme, sekuat apapun akar dan pengaruhnya, Negara tidak boleh dan tidak akan pernah tunduk pada premanisme sebagai salah satu ruang yang membesarkan tindakan kekerasan dan kriminalitas di sebuah wilayah.
Kami Masyarakat Batak di Yogyakarta berpegang pada prinsip “Di mana Bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Maka dari itu kami Masyarakat Batak Yogyakarta mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bergandengan tangan, mengembalikan Yogyakarta pada marwahnya, sebagai kota Pelajar dan Kota Budaya, yang memberikan perlindungan kepada siapapun yang bernaung di dalamnya. Yogyakarta bukanlah kota preman yang melindungi aktifitas dan kegiatan illegal yang menguntungkan segelintir orang ataupun oknum tertentu, namun merugikan bagi banyak orang, bahkan cenderung merusak tatanan kehidupan bermasyarakat di wilayah Yogyakarta.
Kami mengajak kepada siapapun untuk tidak pernah takut melawan kepongahan individu maupun kelompok yang merasa diri superior yang kerap mempertontonkan perilaku kekerasan ditengah masyarakat Yogyakarta.
Melalui seremoni pelepasan Dua Ekor Burung Merpati Putih yang kami harapkan dapat dilakukan oleh Bapak Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Ibu Gusti Kanjeng Ratu Hemas sebagai simbol telah berpulangnya banyak jiwa di Yogyakarta akibat penganiayaan maupun kekerasan jalanan kehadapan sang Khalik, juga sebagai simbol berakhirnya kekerasan jalanan di Yogyakarta, cukuplah adik kami yang terakhir menjadi yang terakhir, jangan pernah adalagi dikemudian hari. Itulah mimpi kita bersama.
Melalui aksi damai ini kami menyerukan Yogyakarta bersih dari praktek dan kegiatan premanisme, mendukung Bapak Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Ibu Gusti Kanjeng Ratu Hemas dalam mengambil langkah tegas dalam upaya membersihkan wilayah Yogyakarta dari pelaku kekerasan tanpa pandang bulu.
Mendukung KAPOLDA dan DANREM untuk melakukan pembersihan terhadap kegiatan dan aktivitas premanisme di wilayah Yogyakarta, termasuk melakukan screening terhadap oknum-oknum yang turut terlibat dalam membackup segala kegiatan premanisme yang bertentangan dengan Undang Undang dan Marwah Kota Yogyakarta Tentram, Aman, Damai bagi semua yang berada didalamnya.
Negara harus memberikan rasa aman pada rakyatnya, dan Negara tidak boleh kalah pada premanisme. Cukup adik kami yang terakhir, jangan adalagi nyawa yang hilang sia-sia. Jangan adalagi pelaku kekerasan yang harus menerima kenyataan hidup dalam bilik penjara, atau berlari dalam rasa bersalah. Mari bergandengan tangan untuk kehidupan yang damai, penuh cinta dan kasih.
Untuk diketahui, dilansir dari detik.com, Kabid Humas Polda DIY Kombes Yuliyanto mengatakan bahwa pelaku ditangkap sekitar 36 jam setelah kejadian itu pada Minggu (8/5) dini hari di Seturan.
“Tim gabungan personel Jatanras Polda dan Polres Sleman berhasil mengamankan pelaku pada Senin pukul 15.00 WIB,” kata Yuli saat ungkap kasus di Mapolda DIY, Selasa (10/5).
Direskrimum Polda DIY Kombes Ade Ary Syam Indradi, kasus penusukan ini masuk kriteria pembunuhan. Polisi juga menjerat tersangka dengan pasal penganiayaan.
“Pengungkapan kasus pembunuhan, kemudian kami lapis subsider Pasal 351 ayat 3 KUHP yang mengakibatkan 2 orang mahasiswa meninggal dunia dini hari dalam perjalanan menuju rumah sakit, dan yang satu setelah mendapatkan penanganan medis di Rumah Sakit JIH akhirnya meninggal juga,” kata Ade.
Dalam kronologinya, Ade menerangkan bahwa saat itu kedua korban dan 4 temannya berboncengan tiga sepeda motor dari barat. Mereka berpapasan dengan kelompok pelaku sekitar 2-5 orang di perempatan Selokan Mataram, Minggu (8/5) pukul 00.30 WIB.
“Kelompok korban dari barat, kelompok pelaku dari selatan. Di perempatan Selokan Mataram ini terjadi perselisihan karena kedua kelompok tidak saling mengalah untuk memberi jalan. Kelompok korban ingin jalan ke timur, kelompok pelaku ingin jalan ke utara,” jelasnya.
Insiden itu membuat kedua kelompok cekcok, saling memaki, saling tuduh, hingga kemudian kejar-mengejar dan saling lempar. Hingga akhirnya kedua korban, yaitu DS dan TIP, ditusuk pelaku YF dengan pisau.
“DS mengalami 4 luka di punggung dan di dada kirinya, yang akhirnya menyebabkan Saudara DS meninggal. Kemudian TIP mengalami tiga luka di dada dan di pinggulnya. Kekerasan (benda) tajam ini yang menyebabkan kedua korban meninggal,” ungkapnya.
Polisi menjerat tersangka dengan pasal berlapis, yaitu pasal pembunuhan dan penganiayaan.
“Pertama, pasal tentang pembunuhan sebagaimana diatur di Pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun. Kemudian kami lapis, yaitu subsider Pasal 351 ayat 3 tentang penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal dengan ancaman pidana maksimal 7 tahun,” tandasnya.
(Rls/raja)