KOTA BEKASI, ZINEWS | KORUPSI adalah musuh negara yang menggerogoti kekayaan negara dan merusak moral dan akhlak para pejabat negara. Akibat dampak kerusakan yang ditimbulkannya ini, maka negara menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dan korupsi terbesar terjadi dalam sektor pengadaan barang/jasa.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan tonggak dari pelaksanaan pengadaan secara elektronik yang saat ini sudah diterapkan di Indonesia. Salah satu bentuk implementasi dari aturan ini, pada 2015 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) meluncurkan metode e-purchasing dimana badan publik dapat membeli secara langsung melalui katalog elektronik.
Tujuan diterapkannya metode E-Purchasing dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah supaya efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.
Namun, apakah tujuan ini seluruhnya dapat terwujud? Timbul Sinaga, SE, Sekjen LSM Forkorindo, saat berbincang-bincang dengan ZI di salah satu kawasan di Rawa Lumbu, Kota Bekasi, mengatakan bahwa, sejatinya E-Purchasing memberikan ruang seluas-luasnya untuk pejabat pemerintah, khususnya pemerintah daerah, melakukan KORUPSI secara terstruktur, bahkan terencana sejak dari awal perencanaan kegiatan sampai penyelesaian kontrak. Ironisnya, tidak ada satupun pihak eksternal yang dapat mengawasi kinerja pejabat pemerintah tersebut, karena, menurutnya, transaksi dan konspirasi antara penyedia dan pejabat (pejabat pengadaan) dalam menggerogoti uang negara untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, dilakukan di ruang tertutup.
Timbul Sinaga, memaparkan, ada beberapa celah dalam peraturan e-purchasing yang dapat dimanfaatkan penyedia barang dan pejabat pengadaan untuk melakukan kecurangan dan korupsi, Pertama, adanya persekongkolan antara penyedia di katalog elektronik dengan PP/PPK untuk pengaturan harga. Hal ini disebabkan adanya komunikasi yang dilakukan oleh PP/PPK (selaku pihak yang membuat paket di dalam sistem katalog elektronik) dengan penyedia. Pengaturan harga yang timbul karena adanya intensi untuk memperkaya diri sendiri atau pihak penyedia.
Kedua, PP/PPK saat memproses paket dengan fitur negosiasi, mereka tidak melakukan negosiasi. Hal ini akan meningkatnya anggaran belanja sehingga berpotensi menimbulkan pemborosan terhadap keuangan negara. Dalam sistem katalog elektronik harga yang ditawarkan oleh penyedia merupakan harga termahal. Apabila PP/PPK memproses paket dengan menggunakan fitur negosiasi, maka harga barang yang dibeli dapat ditekan hingga 30 persen.
Ketiga, adanya potensi persekongkolan yang dilakukan oleh PP/PPK kepada penyedia saat proses transaksi dengan modus “biaya klik”. Saat proses pemilihan barang, PP/PPK berwenang untuk memilih barang berdasarkan kebutuhan. Agar barang dapat dibeli, maka PP/PPK meminta “biaya klik” kepada penyedia atau penyedia memberikan suap kepada PP/PPK sebagai imbalan karena sudah membeli barang tersebut. Hal ini tentu dengan prasyarat bahwa adanya komunikasi yang dibangun antara PP/PPK dan penyedia.
Keempat, adanya potensi PPK tidak melakukan pemeriksaan terhadap barang yang dikirimkan oleh penyedia. Akibatnya, barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan oleh penyedia di dalam sistem e-katalog.
Kelima, adanya ongkos kirim fiktif yang diatur antara penyedia dan PP/PPK. Ongkos kirim yang diterima oleh penyedia akan diberikan kepada PP/PPK saat mengambil barang ke lokasi penyedia.
Keenam, persekongkolan dalam pengaturan ongkos kirim. Selisih nilai ongkos kirim diberikan kepada PP/PPK oleh penyedia. Caranya, pada saat melakukan proses pembelian, PP/PPK berkomunikasi dengan pihak penyedia untuk mengirimkan barang ke lokasi yang bukan merupakan lokasi dibutuhkannya barang.
Ketujuh, K/L/PD mendorong penyedia untuk memasukan barang ke katalog elektronik agar dapat dibeli oleh masing-masing institusi. Namun pembelian barang tersebut hanya terjadi satu kali, kemudian barang tersebut tidak pernah dibeli oleh institusi manapun.
Kedelapan, PP/PPK memilih barang bukan harga yang termurah. Dalam sistem katalog elektronik apabila ada suatu barang dengan jenis yang sama dan memiliki pilihan lebih dari satu, maka PP/PPK harus memilih barang dengan harga yang termurah sesuai dengan kebutuhan.
“Beberapa kasus bisa saya sebutkan, mulai dari yang sudah terjadi, sampai yang sedang terjadi. Misalnya di Dinas Pendidikan dan Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (DBMSDA) Kota Bekasi,” kata Sinaga.
Alasan dia mengambil contoh dua dinas tersebut karena kedua dinas tersebut adalah dua dinas terbesar yang menghabiskan anggaran yang juga sangat besar.
“Publik mungkin masih ingat dengan kasus Pengadaan Meubelair di Dinas Pendidikan Kota Bekasi pada tahun 2017 silam. Kasus ini sempat menghebohkan Kota Bekasi, karena menghabiskan anggaran sampai 60 miliar lebih. Ditambah lagi dengan pengadaan laptop untuk UNBK pada tahun 2018. Semua itu kasus dalam pengadaan barang lewat E-Purchasing,” ujarnya.
“Dan lucunya, lagi-lagi Dinas Pendidikan Kota Bekasi melakukan pembelian Meubelair merek yang sama melalui e-purchasing, dan lagi-lagi melakukan kesalahan dengan modus yang sama. Saya bisa mengatakan sama, karena dari temuan kami di beberapa sekolah, saya bisa pastikan PPK dan pejabat pengadaan tidak melakukan tupoksinya karena memang “sudah dikondisikan”.
“Sejak tahun 2022, LKPP memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk memasukkan penyedia dalam e-katalog lokal. Hal ini semakin memperluas dan mempermudah adanya komunikasi antara penyedia dan pejabat pengadaan untuk melakukan kecurangan sejak awal sampai akhir penyelesaian pekerjaan, dan tidak akan ada yang mengetahui. Seperti yang saya sebutkan diatas, semua dilakukan di ruang tertutup,” tambah Timbul.
Dia juga menambahkan, bahwa e-purchasing sekarang sudah merambah ke bidang konstruksi, dan kota Bekasi pada tahun ini telah menerapkan e-purchasing dalam pekerjaan konstruksi. Sehingga DBMSDA, pada beberapa pekerjaan di akhir tahun anggaran 2023, melaksanakan banyak kegiatan melalui metode e-purchasing.
“Tapi, para pejabat yang bertanggung jawab dalam pengadaan melalui e-purchasing di DBMSDA, masih belum beranjak dari pola pikir lelang manual. Sehingga yang terjadi adalah proyek pengadaan langsung (PL), namun untuk pekerjaan diatas 1 miliar. Nanti saya tunjukkan beberapa kegiatan yang mana bernilai miliaran rupiah tapi di PL-kan, atau penunjukan langsung. Itu jelas sebuah kecurangan yang nyata-nyata terjadi di depan mata.
“Kesimpulannya, sebaik apapun sistem yang dibangun oleh pemerintah pusat untuk menjamin pengadaan barang/jasa yang bermartabat, tapi bila mental para pejabatnya yang sudah “rendah”, sekecil apapun peluang dan celah, akan mereka manfaatkan untuk memperkaya diri sendiri atau KORUPSI,” tutup Timbul Sinaga.