Demokrasi dan Hukum

Foto; View Tugu Monas/dok

Jakarta, ZI – Kehidupan berdemokrasi yang baik mensyaratkan adanya kebebasan berserikat dan berpendapat, dan itu tidak cukup, karena berdemokrasi juga harus benar, artinya harus ada pagar pembatas tentang apa yang boleh dan apa yang dilarang. Maka hadirlah hukum.

Dan semestinya siapa pun harus suka rela “menghukumi” dirinya, di mana dalam wujudnya adalah mengetahui, memahami apa hak dan kewajibannya.

Ada kesadaran untuk kapan membuka dan menutup pagar, agar kebebasan justru tidak menghadirkan petaka.

Sebelum hutan kota di sekitar Tugu Monas dipagari oleh gubernur DKI Pak Sutiyoso, rakyat dengan bebas mengaksesnya. Entah sekedar melepas penat, menikmati keindahan dan kemegahan Tugu legendaris itu, atau banyak juga yang mengadu nasib berdagang, tukang pijat keliling, tukang siomay, tukang bakso, tukang kerak telor, bahkan sampai tukang copet , tukang palak tumplek blek dengan bebasnya. Dan jangan tanya lagi soal ekses-nya..dari soal sampah sampai bau pesing dan bau kotoran manusia menjadi menu harian.

Kok saya tahu..[tahu dong], kan sejak tahun 1994 sampai tahun 2001 kantor saya ada di jalan Merdeka Utara, yang tiap pagi turun dan tiap sore naik kereta di stasiun Gambir lalu jalan kaki menuju atau dari kantor pasti melewati hutan kota Monas.

Bacaan Lainnya

Kondisi berubah setelah hutan kota Monas “ditertibkan” dengan pemagaran..berubah bersih dan tertib. Pedagang segala macam yang saya sebutkan di atas juga masih bisa melakukan aktivitasnya.

Rakyat juga masih bisa menikmati hawa segar di pusat ibukota. Tentu tidak bebas sebebasnya seperti sebelum dipagari.

Jadi singgungan antara demokrasi dengan hukum, ya sesederhana itu pemahamannya, namun yang sulit itu memang pada sisi [bagaimana melakukannya].

(Penulis: Djuyamto)

Pos terkait