Penulis ; Frisdar Rio Ari Tentus Marbun, SH., (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UNILA)
A. Pendahuluan
Perwalian adalah penguasaan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.[1] Pada dasarnya Lembaga perwalian dibutuhkan untuk mengakomodir atau memenuhi kepentingan hukum seorang anak yang belum dewasa atau yang belum cakap bertindak untuk melakukan sebuah perbuatan hukum dan sekaligus sebagai pelindung terhadap ketidaktahuannya sebagai akibat dari perbuatan hukum yang telah dilakukannya.
Perkembangan hukum Lembaga Perwalian di Indonesia dimulai dengan diundangkannya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada tahun 1848 melalui Staatsblad 1847-23 dan melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sampai pada aturan terakhir yang diundangkan saat ini melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan wali;
Pemahaman hukum mengenai Lembaga perwalian baik secara filosofis maupun sosiologis pada awal diberlakukannya KUHPerdata (Burgelijk Wetboek) pada tahun 1848 berdasarkan asas konkordansi tentu sangat dipengaruhi oleh mind set dan culture set golongan eropa maupun timur asing dalam memandang dan memahami bagaimana keberadaan Lembaga perwalian dalam sebuah dinamika kelangsungan hidup seorang anak seperti konsep perwalian, proses terjadinya perwalian serta hak dan kewajiban antara wali dengan anak sehingga tentunya terdapat beberapa hal yang tidak sesuai nilai-nilai ataupun dengan perkembangan masyarakat, termasuk mengenai hal Lembaga perwalian tersebut.
Perjalanan waktu dari tahun 1848 sampai saat ini tentu sudah menghadapi banyak perubahan dan perkembangan paradigma yang siginifikan dalam memahami Lembaga perwalian tersebut yang sangat dipengaruhi oleh berbagai aturan baik itu dari kearifan lokal maupun konvensi internasional yang sangat mengedepankan pada aspek perlindungan anak dan kepentingan yang terbaik bagi anak. Salah satu instrument hukum yang mempengaruhi paradigma tersebut adalah Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) yang telah diratifikasi Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.[2]
Dengan diketahuinya perbedaan konsep perwalian sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini akan memberikan pemahaman yang jelas bagaimana konstruksi alam pemikiran Negara Indonesia dalam upaya melindungi dan memelihara kebutuhan hidup Anak yang tidak berada dalam penguasaan orang tua serta untuk sebagai cerminan dalam menyusun aturan perwalian yang baru dikemudian hari.
- Lembaga Perwalian Sebelum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Aturan mengenai Lembaga Perwalian sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan hanya diatur secara tegas dalam KUHPerdata yang diundangkan pada tahun 1848 melalui Staatsblad 1847-23 dan pada saat awal kemerdekaan aturan ini masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga dalam pembahasan ini hanya akan mendasarkan pada KUHPerdata;
Pada dasarnya KUHPerdata hanya diperuntukkan dan berlaku bagi golongan orang Eropa dan Timur Asing namun banyak orang Indonesia yang turut menggunakan aturan KUHPerdata sebagai dasar melakukan perbuatan hukumnya ataupun sebagai dasar dalam menyelesaikan suatu permasalahan hukumnya sehingga tindakan orang Indonesia tersebut dianggap sebagai penundukan diri secara diam-diam secara sukarela yang berlanjut dan konsisten sehingga KUHPerdata menjadi aturan yang hidup dan berlaku bagi orang Indonesia hal ini juga sesuai dengan Pasal 29 Staatsblad 1917 No.12.
KUHPerdata memberikan pengertian terhadap Perwalian pada Pasal 330 ayat (3) KUHPerdata yaitu mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Sementara itu pengertian belum dewasa menurut KUHPerdata adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin sedangkan pengertian dibawah kekuasaan orang tua (Pasal 299 KUHPerdata) adalah sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa tetap bernaung dibawah kekuasaan mereka, sekadar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu sehingga dengan demikian makna perwalian berdasarkan KUHPerdata adalah setiap orang yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun, belum menikah serta orang tuanya tidak terikat dengan perkawinan lagi atau kekuasaan orang tua terhadap orang tersebut telah dicabut;
Selain Pasal 330 ayat (3) dan Pasal 299 KUHPerdata, konsep perwalian menurut KUHPerdata ini dapat diketahui juga melalui Pasal 229 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa
“Setelah perceraian diperintahkan, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah akan kedua orang tua dan sekalian keluarga sedarah dan semenda dari anak anak yang belum dewasa. Pengadilan Negeri menetapkan terhadap tiap-tiap anak siapakah dari kedua orang tua mereka, harus melakukan perwalian atas anak-anak itu, dengan mengindahkan keputusan-keputusan hakim yang dulu-dulu, dengan mana mereka kiranya pernah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua”.
Pasal tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa apabila kedua orang tua (suami dan istri) telah bercerai maka kekuasaan orang tua baik itu suami atau istri terhadap anak yang belum dewasa menjadi hapus dan beralih status hukumnya dari kekuasaan orang tua menjadi perwalian. Dengan kata lain meskipun berdasarkan putusan pengadilan negeri menetapkan anak itu diasuh atau dipelihara misalnya oleh ayahnya bukan berarti maksud pengasuhan atau pemeliharaan itu seperti kekuasaan ayah terhadap anaknya namun maksudnya adalah ayah tersebut sebagai wali atas anak tersebut hal ini kemudian membawa konsekuensi hukum yang baru terhadap hak dan kewajiban antara ayah dan anak dalam status hubungannya sebagai perwalian dan bukan lagi kekuasaan orang tua terhadap anak.
Kemudian, Pasal 345 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekedar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya”.
Pasal ini pada pokoknya menyatakan bahwa apabila suami atau istri meninggal dunia maka status hubungan antara suami atau istri tersebut terhadap anak bukan lagi seperti kekuasaan orang tua terhadap anak melainkan berubah menjadi wali terhadap anak tersebut.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa konsep perwalian dalam KUHPerdata didasarkan pada hubungan perkawinan antara suami dan istri sebagai orang tua sehingga apabila ikatan perkawinan tersebut putus karena perceraian ataupun karena meninggalnya suami atau istri maka pengasuhan atau pemeliharaan yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap anak dibawah umur tersebut berada dalam status hukum perwalian dan bukan lagi kekuasaan orang tua terhadap anak dan oleh karenanya maka tugas dan tanggung jawab maupun hak dan kewajiban antara suami atau istri terhadap anak secara otomatis berganti hubungannya sebagai tugas dan tanggung jawab maupun hak dan kewajiban antara wali dengan anak;
- Lembaga Perwalian sesudah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pembahasan mengenai konsep perwalian setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan akan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan aturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku setelahnya seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, aturan perubahan dan aturan pelaksanaannya;
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Lembaga perwalian berdasarkan UU Perkawinan ini ditujukan kepada Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
Untuk mengetahui konsep perwalian didalam Undang-undang ini kita dapat melihat dan menganalisis Pasal 47 ayat (1) yang menyebutkan bahwa
“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”.
Menurut Pasal ini kekuasaan orang tua terhadap anak tetap ada sepanjang orang tua tersebut tidak dicabut kekuasaannya sebagai orang tua (Pasal 49 ayat (1) hal ini berarti status orang tua yang telah bercerai ataupun salah satu orang tua meninggal bukan menjadi alasan atau penyebab kekuasaan orang tua terhadap anak tersebut menjadi berakhir dan putus dengan kata lain suami atau istri yang bercerai atau salah satu orangtua yang lebih lama hidup tidak mengubah statusnya menjadi wali terhadap anak namun tetap dapat menjalankan kekuasaannya sebagai orang tua. Hal ini kemudian diperkuat dengan Pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa:
“Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi”.
Frasa “wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua” memberikan penekanan yang tegas terhadap bagaimana kekuasaan orang tua terhadap anak masih berlanjut meskipun salah satu kedua orang tua sudah meninggal ataupun putus hubungan karena perceraian sehingga dapat dikatakan bahwa Lembaga perwalian tidak muncul karena peristiwa perceraian ataupun meninggalnya salah satu orang tua.
Menurut Undang-undang Perkawinan meskipun telah terjadi perceraian, bukan berarti kewajiban suami isteri sebagai ayah dan ibu terhadap anak di bawah umur berakhir. Baik bekas suami maupun bekas isteri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak. Suami dan isteri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya.[3]
Berdasarkan ketentuan undang-undang ini maka Lembaga perwalian baru hadir atau muncul apabila ditunjuk oleh orang tua anak melalui surat wasiat atau dengan lisan dihadapan 2 (dua) orang saksi yang sebaiknya wali tersebut berasal dari keluarga anak tersebut yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik (Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2)).
Selain hal tersebut, didalam undang-undang ini terjadi perubahan usia anak yang berada dalam Lembaga perwalian yaitu apabila usia anak belum mencapai 18 (delapan belas) tahun yang berbeda dengan ketentuan KUHPerdata yang menyebutkan bahwa usia anak dalam lembaga perwalian yaitu belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun.
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Latar belakang lahirnya undang-undang ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anak secara utuh, menyeluruh dan komprehensif salah satunya dalam bentuk memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-hak anak dan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal demi terwujudnya kesejahteraan kepada anak yang semuanya itu mendasarkan pada asas-asas diantaranya adalah asas kepentingan yang terbaik bagi anak dan asas kelangsungan hidup anak.[4]
Salah satu bentuk perlindungan anak yang diatur dalam undang-undang ini adalah mengenai perwalian anak. Menurut undang-undang ini, wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak sementara itu maksud kekuasaan asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat serta minatnya.
Dengan kata lain bahwa wali merupakan orang atau badan yang mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat serta minatnya seperti layaknya orang tua terhadap anak kandungnya sendiri.
Konsep Lembaga perwalian dalam undang-undang ini kemudian dapat dilihat dan dianalisa melalui Pasal 33 ayat (1) yang menyebutkan bahwa:
“Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan”.
Pengertian mengenai tidak cakap melakukan perbuatan hukum sebagaimana isi pasal tersebut tidak ada diatur lebih lanjut didalam undang-undang ini sehingga Penulis akan menafsirkan hal tersebut dengan mengembalikan hal tersebut pada aturan yang lebih umum sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata.
Berdasarkan uraian diatas maka Lembaga perwalian berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak ini hadir atau muncul dalam dua kondisi yaitu apabila orang tua anak berada dalam status dibawah pengampuan dan keberadaan orang tua tidak diketahui sedangkan syarat lainnya seperti adanya perceraian, salah satu orang tua meninggal dunia, dan kekuasaan orang tua dicabut oleh pengadilan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam KUHPerdata dan Undang-Undang perkawinan tidak tercakup pada redaksi kalimat pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak ini.
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang ini terbit sebagai respon atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang dinilai belum dapat berjalan secara efektif serta dalam rangka mengoptimalkan dan mempertegas jaminan anak sebagaimana yang diatur dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
Pada undang-undang sebelumnya konsep perwalian diatur dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan sedangkan dalam undang-undang ini konsep perwalian diubah sebagaimana yang disebutkan pasal 33 ayat (1) bahwa:
“Dalam hal Orang Tua dan Keluarga Anak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai Wali dari Anak yang bersangkutan”.
Adapun Pasal 26 ayat (1) menyebutkan bahwa:
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
- mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;
- menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
- mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan
- memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.
Dengan kata lain apabila orang tua tidak dapat memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak maka orang tua atau salah satu orang tua tersebut dapat dicabut kekuasaannya pada anak tersebut dan ditunjuk orang atau badan lain sebagai wali terhadap anak untuk menjalankan kewajiban dan tanggung jawab orang tua tersebut.
Dengan berlakunya undang-undang ini maka terjadi perubahan syarat munculnya wali yaitu dari dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya menjadi apabila orang tua tidak dapat memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak sebagaimana dalam Pasal 26 undang-undang ini;
Menurut Penulis, penggantian konsep perwalian atau syarat-syarat munculnya wali tersebut adalah sebagai bentuk pengkonkritisasi dari apa yang menjadi wujud tanggung jawab atau kekuasaan orang tua yang sebelumnya tidak diatur secara tegas pada undang-undang sebelumnya.
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan wali
Peraturan Pemerintah ini merupakan aturan turunan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Aturan ini secara tegas menyatakan bahwa seseorang yang dapat ditunjuk sebagai wali hanya dengan 3 (tiga) alasan yaitu orang tua tidak ada, orang tua tidak diketahui keberadaannya atau suatu sebab orang tua tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Semangat perlindungan dan kepentingan Anak sangat jelas terakomodir dalam aturan pelaksanaan ini, hal ini terlihat jelas bahwa seseorang yang ditunjuk menjadi wali diutamakan berasal dari keluarga Anak dan memiliki kedekatan dengan Anak serta juga harus memenuhi sejumlah persyaratan yang telah ditetapkan agar dapat menjadi wali atas anak tersebut.
Pemberlakuan syarat-syarat tersebut mencerminkan usaha negara untuk memproteksi anak dari wali yang kurang bertanggung jawab serta dalam rangka mendapatkan wali yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan yang terbaik bagi anak demi kelangsungan hidup anak yang tetap terjaga dan berkesinambungan.
B. Kesimpulan
- Konsep Lembaga perwalian sebelum diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan didasarkan pada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) yang pada pokoknya bahwa lembaga perwalian didasarkan pada adanya hubungan ikatan perkawinan antara suami dan istri sehingga apabila ikatan perkawinan tersebut putus karena perceraian ataupun karena meninggalnya suami atau istri maka pengasuhan atau pemeliharaan yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap anak dibawah umur tersebut berada dalam status hukum perwalian dan bukan lagi kekuasaan orang tua terhadap anak dan oleh karenanya maka tugas dan tanggung jawab maupun hak dan kewajiban antara suami atau istri terhadap anak secara otomatis berganti hubungannya sebagai tugas dan tanggung jawab maupun hak dan kewajiban antara wali dengan anak;
- Konsep Lembaga perwalian setelah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan didasarkan pada beberapa ketentuan peraturan seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang pada pokoknya bahwa konsep Lembaga perwalian muncul apabila orang tua tidak dapat diketahui keberadaannya dan tidak cakap melakukan perbuatan hukum serta tidak dapat memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.
- Paradigma Konsep Lembaga perwalian saat ini telah bergeser pada titik fokus mampu atau tidaknya orang tua untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anak, hal ini menunjukkan adanya penempatan kebutuhan dan kelangsungan hidup anak sebagai faktor utama untuk memutuskan apakah anak tersebut tetap berada didalam kekuasaan orang tua atau beralih dibawah perwalian orang lain yang melaksanakan kekuasaan orang tua.
Refrensi :
- [1] Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, 2019, Hal: 82
- [2] Agustinus Supriyanto, Perspektif Indonesia Mengenai Hak-Hak Asasi Anak: Refleksi atas Undang-Undang dan Konvensi Internasional Terkait, Mimbar Hukum Edisi Khusus, November 2011
- [3] Nunung Rodliyah, Akibat Hukum Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Keadilan Progresif, Volume 5 Nomor 1 Maret 2014
- [4] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak