Kota Layak Anak Sekolah Ramah Anak Siswa Kencing Saja Susah

Bekasi, ZI – Ketersediaan toilet siswa yang layak, dengan rasio yang sesuai dengan siswa, di sekolah-sekolah negeri merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah. Pemerintah dengan semua stakeholder pendidikan wajib mewujudkan ketersediaan sanitasi sekolah sebagai pemenuhan hak layanan kesehatan dan hak layanan pendidikan.

 

Dalam beberapa tahun ini, pemerintah kota Bekasi sesumbar mengklaim, bahwa Kota Bekasi telah menjadi Kota Layak Anak dengan predikat Madya tahun 2023 dan predikat Nindya tahun 2024. Tapi bila kita melihat kondisi sekolah-sekolah negeri, kita akan sangat terperangah menghadapi kenyataan, karena sebagian besar sekolah negeri di kota Bekasi memiliki sarana sanitasi yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan.

 

Kondisi ini sudah terjadi sejak belasan tahun yang lalu, namun tanpa merasa bersalah dan berdosa, tiap sekolah malah memasang plang “SEKOLAH RAMAH ANAK”, sedangkan siswanya sendiri hanya untuk menunaikan panggilan alam (nature’s calling) atau kencing saja susah dan harus lebih dulu menderita.

 

Seperti di salah satu SMP Negeri di Kota Bekasi. Sebuah bangunan 3 (tiga) lantai, tiap lantai terdiri dari 2 RKB (ruang kelas belajar) yang diisi masing-masing 40 siswa, namun tidak satupun ditemukan sarana toilet di bangunan itu, mulai dari lantai 1 sampai lantai 3. Ada apa gerangan?

 

Sarana sanitasi atau toilet adalah syarat utama dalam bangunan sekolah yang wajib disediakan. Jadi sangatlah tidak masuk akal, ketika sebuah gedung sekolah yang tiap lantainya ada sekitar 80 siswa tidak ada satupun sarana sanitasi atau toilet.

 

Ketika hal ini terjadi, banyak hal negatif yang kemungkinan besar akan muncul. Salah satunya, semangat siswa untuk bersekolah akan menurun, dan sekolah akan menjadi momok menakutkan bagi anak. Bisa dibayangkan, bagaimana sedihnya seorang siswa yang ditempatkan di lantai 3, harus berlari turun 3 lantai dan berlari lagi naik 3 lantai hanya sekedar untuk buang air kecil saja.

 

Melihat kondisi ini, siswa akan enggan untuk menjalankan panggilan alam-nya dan cenderung menahan untuk buang air kecil (kencing).

 

Dampak Menahan Buang Air Kecil

 

1. Rasa Nyeri dan Tidak Nyaman

2. Batu Kandung Kemih

3. Inkontinensia Urine

4. Nyeri Pinggang

5. Infeksi Saluran Kemih

6. Batu Ginjal

 

Buang air kecil merupakan suatu proses pengeluaran sisa limbah dari tubuh melalui urine. Menahan buang air kecil adalah kebiasaan yang tampak sepele namun berbahaya bagi tubuh.

 

Menahan buang air kecil sesekali waktu karena kondisi tertentu sebenarnya tidak masalah. Tetapi, jika sudah menjadi kebiasaan dan dilakukan secara terus-menerus, maka hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya masalah kesehatan, mulai dari batu kandung kemih, nyeri pinggang, kebocoran urine, dan lain-lain.

 

1. Rasa Nyeri dan Tidak Nyaman

Salah satu akibat menahan buang air kecil adalah timbulnya rasa nyeri dan tidak nyaman di area kandung kemih. Hal ini terjadi karena kandung kemih memiliki batas dalam menampung urine. Jika urine terus-menerus ditahan, maka kandung kemih akan semakin penuh dan akhirnya meregang sehingga menyebabkan nyeri.

 

Jika hal tersebut terjadi secara berkepanjangan, maka kandung kemih akan longgar permanen dan mempersulit kontraksi. Akibatnya, penderita mengalami keluhan sulit atau bahkan tidak bisa buang air kecil. Terkadang kondisi ini membuat penderitanya memerlukan kateter untuk mengeluarkan urine.

 

2. Batu Kandung Kemih

Kebiasaan menahan buang air kecil juga dapat membuat proses berkemih tidak tuntas dan menyisakan sisa urine di kandung kemih. Dalam jangka panjang, kebiasaan tersebut bisa memicu terbentuknya batu kandung kemih. Kondisi ini menyebabkan rasa nyeri saat buang air kecil, nyeri perut bagian bawah, hingga urine bercampur darah.

 

3. Inkontinensia Urine

Akibat menahan buang air kecil berikutnya adalah inkontinensia urine, yaitu kebocoran urine/mengompol karena melemahnya otot kandung kemih. Terlalu sering menahan kencing dapat membuat otot kandung kemih mengencang, lama-kelamaan kekuatan otot pun akan mengendur dan elastisitasnya berkurang.

 

4. Nyeri Pinggang

Akibat menahan buang air kecil ternyata tidak hanya berdampak pada organ-organ urologi, tetapi juga bisa menyebabkan timbulnya rasa nyeri di pinggang. Pasalnya, ketika kandung kemih hampir penuh, saraf di area organ tersebut sudah aktif sehingga memunculkan keinginan untuk buang air kecil.

 

Akan tetapi, jika urine tidak segera dikeluarkan, maka tubuh harus melawan sinyal yang diberikan saraf kandung kemih dan otak. Akibatnya, muncul gejala seperti bulu kuduk berdiri (merinding) serta perut bawah terasa penuh dan nyeri. Kebiasaan inilah yang dapat menyebabkan rasa nyeri menjalar hingga pinggang.

 

5. Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih (ISK) menjadi salah satu alasan selanjutnya untuk jangan menahan buang air kecil. ISK disebabkan oleh penumpukan bakteri di sekitar pembukaan uretra. Ketika urine tertahan, bakteri akan berkembang biak dan dapat menyebabkan infeksi di saluran kemih.

 

6. Batu Ginjal

Kebiasaan menahan buang air kecil juga berpotensi memicu terbentuknya batu ginjal. Batu ginjal adalah kondisi mengerasnya tumpukan asam urat atau kalsium yang berikatan dengan bahan kimia oksalat atau fosfor di dalam urine.

 

Batu ginjal yang masih berukuran kecil biasanya akan ikut keluar bersama urine tanpa menimbulkan rasa nyeri. Namun, kebiasaan menunda buang air kecil akan menyebabkan penumpukan batu ginjal yang dapat menyatu dan membesar. Ketika hal ini terjadi, batu dapat menyumbat saluran kemih dan membuat penderitanya merasa nyeri ketika buang air kecil.

 

Tidak menyediakan sarana sanitasi sekolah yang memadai, bagi sebagian orang mungkin merupakan hal sepele tapi sejatinya ini adalah perbuatan kejam dan tidak manusiawi.

 

Dalam rancang bangun fasilitas sarana prasarana pendidikan, tidak ada kemungkinannya seorang arsitek ataupun konsultan perencana yang menghilangkan sarana sanitasi dalam desain rancangannya. Apalagi bangunan yang dirancangnya itu diketahui adalah sebuah bangunan pendidikan tempat pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.

 

Lalu pihak pendidikan (dinas pendidikan dan sekolah) yang mengajukan kebutuhan ruang kelas belajar tidak mungkin tidak mengikut sertakan sarana sanitasi dalam pengajuannya.

 

Jadi, ketika ada bangunan pendidikan yang tidak memiliki sarana sanitasi seperti disebutkan diatas, di tahap mana kemungkinan besar sarana sanitasi itu dihilangkan?

 

Kejadian di atas, dimana sebuah bangunan pendidikan, 3 lantai yang menampung sekitar 80 orang siswa di tiap lantainya, tidak dilengkapi satupun sarana sanitasi, adalah perbuatan yang melanggar hak dasar anak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan dan juga pelayanan kesehatan. Siapa yang bertanggung jawab dalam hal ini?

 

Sedikitnya ada 9 instansi yang bersentuhan langsung dan bertanggung jawab dalam proses pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, yaitu:

Disdik dan sekolah

Bappelitbangda

Disperkimtan

DP3A

Dinas Kesehatan

Inspektorat

Sekda

Walikota

DPRD

 

Disdik dan atau sekolah dalam hal ini adalah user, atau pengguna. Instansi inilah yang paling berkepentingan dalam pemanfaatan gedung sekolah. Disdik sebelumnya harus mengajukan kebutuhan ruang kelas di salah satu sekolah (usulan).

 

Usulan ini kemudian direspon oleh Bappelitbangda dalam kaitannya dengan ketersediaan anggaran, dan atas persetujuan DPRD, Sekda dan Walikota, jadilah sebuah kegiatan dengan alokasi anggaran yang disesuaikan dengan usulan awal.

 

Setelah jadi mata anggaran, kegiatan ini kemudian dieksekusi oleh dinas perumahan, permukiman dan pertanahan (Disperkimtah) sebagai dinas teknis dalam pembangunan gedung sekolah.

 

Dalam pembuatan DED (detail engineering design), Disperkimtah pastinya harus berkoordinasi dengan DP3A dan dinas kesehatan, agar bangunan itu memenuhi kriteria ramah anak dan memenuhi standar gedung atau bangunan yang aman, nyaman dan sehat untuk anak.

 

Selama proses perencanaan, pelaksanaan sampai serah terima pekerjaan, Disperkimtah tidak bisa tidak harus berkoordinasi dengan Inspektorat Kota agar tidak ada celah terjadinya penyimpangan anggaran dan memastikan gedung yang dibangun sesuai dengan fungsi dan peruntukannya.

 

Dengan runtutan diatas, maka bila ternyata hasil akhirnya adalah sebuah bangunan 3 lantai dengan 6 RKB tanpa satupun sarana sanitasi, berarti baik Disdik, Disperkimtah, DP3A, Inspektorat, Sekda, Walikota dan DPRD menyetujui hal keji tersebut terjadi.

 

Informasi yang berhasil dihimpun bahwa, pada awalnya, gedung ini telah didesain dengan baik. Namun saat pelaksanaan, dengan alasan kurang anggaran, akhirnya ruangan yang tadinya diperuntukkan sebagai fasilitas toilet, dirubah menjadi hanya ruangan saja. Dengan asumsi, anak-anak bisa buang air kecil atau buang air besar di belakang gedung yang sudah diperuntukkan sebagai sarana toilet bersama.

 

Seharusnya, gedung sekolah 3 lantai tersebut tidak boleh dipergunakan karena dengan menggunakannya sebagai ruang kelas belajar, secara langsung sekolah telah menindas siswanya sendiri dan menjadikan para siswa itu sebagai pesakitan.

 

Anehnya, ketika hal ini disampaikan ke Pj Walikota, Sekda, Inspektur, dan Sekdisdik, semua memilih bungkam. Seakan tokoh-tokoh yang “katanya” berkomitmen mewujudkan kota layak anak ini melepaskan tanggung jawab akan adanya penindasan dan perampasan hak anak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak.

 

Jadi, jangan sesumbar telah mewujudkan KOTA LAYAK ANAK, Sekolah Ramah Anak, dan KOTA CERDAS, bila siswa mau kencing saja SUSAH. (GP/ZI-3)