Bekasi, ZI – Ketua Umum Pemuda Batak Bersatu (PBB) Lambok F Sihombing, S.Pd, merasa terpanggil dan tergerak untuk melakukan sebuah upaya dalam memperjuangkan pengakuan secara sah dari Negara Republik Indonesia kepada Letkol. TNI (Purn) dr. Wiliater Hutagalung, sebagai Pahlawan Nasional RI.
“Filosofi mengatakan, [Sebagai anak akan menjadi sangat bangga dengan luar biasa jika ada sebuah pengakuan secara langsung]. Dan inilah yang terjadi, setelah saya baca riwayat perjuangan dari sosok yang patut dibanggakan sebagai salah satu putra terbaik dari suku batak, Letkol. TNI (Purn) dr. Wiliater Hutagalung, Almarhum layak untuk mendapat pengakuan dari Bangsa ini. Sebagai anak bangsa yang sudah berkorban jiwa dan raga demi Negara Republik Indonesia. Jadi kita berharap dari pemerintah pusat yaitu Kementerian Sosial Republik Indonesia sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2009, tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Pasal 25 dan Pasal 26, mengkaji dan mempertimbangkan hal ini, sehingga apa yang ditunggu-tunggu selama ini biasa terwujud Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, masuk dalam urutan Pahlawan Nasional RI,” ucap Lambok, Kamis (09/09/21).
Lambok menjelaskan, bahwa untuk mewujudkan hal ini ia akan melakukan berbagai upaya salah satunya dengan menggalang dukungan dari internal (organisasi pemuda batak bersatu-red) termasuk dalam melengkapi dokumen-dokumen yang dibutuhkan sebagai persyaratan sesuai dengan Undang-undang.
“Dalam waktu dekat akan kita adakan rapat internal pengurus pusat untuk mempersiapkan langkah-langkah ke depan termasuk membangun hubungan intensif dengan pihak keluarga Alm. Letkol. TNI (Purn) dr. Wiliater Hutagalung. Dan yang pasti dari Keluarga Besar Pemuda Batak Bersatu akan mendukung hal positif ini. Sebab kita adalah bagian dari anak Bangsa Indonesia, jadi sebuah hal yang wajar jika kita mengajukan atau meminta sesuatu kepada Orang Tua kita. Siapa Orang Tua kita ini, iya beliau-beliau yang duduk di pemerintah pusat secara khusus Presiden RI Bapak Ir. Joko Widodo,” tutup Lambok.
Sementara Batara Richard Hutagalung (lahir 4 Desember 1944), anak keenam dari pasangan Letnan Kolonel Purnawirawan Wiliater Hutagalung dan Maria Dora Elfrinkhoff-Rincap, saat dihubungi lewat telepon ke redaksi ZI menjelaskan, bahwa saat ini sedang memenuhi tahap-tahap untuk melengkapi semua dokumen sebagai persayaratan resmi sesui dengan Undang-undang.
“Saat ini pihak keluaga besar Hutagalung sedang bekerja untuk memenuhi semua persyaratan yang diminta sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2009, tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Pasal 25 dan Pasal 26, baik syarat umum dan syarat khususnya. Bahkan besok, Jumat 10 September 2021 pihak keluaraga kita akan melakukan auidensi dengan Bupati Tapanuli Utara Drs. Nikson Nababan, M.Si, untuk meminta dukungan. Dan kita berharap hasil pertemuan nanti akan berbuah baik sehingga keinginan terwujud. Sebab Beliau ini (Alm. Letkol. TNI [Purn] Wiliater Hutagalung-red) bukan hanya milik kami, tetapi Beliau adalah milik semua suku batak dan Bangsa Negara Republik Indonesia,” tutur Putra ke 6 (enam) Letkol. TNI (Purn) Wiliater Hutagalung.
Sosok pria umur 76 Tahun ini, merupakan seorang sejarawan dan komentator politik Indonesia. Ia juga menjabat sebagai Ketua Umum Komite Nasional Pembela Kedaulatan Negara dan Martabat Bangsa (PKNMB) dan ketua umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUB) serta tergabung dalam Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI), dan merupakan pendiri Aliansi Reformasi Indonesia (ARI), berharap adanya dukungan masyarakat khusunya suku batak agar hal ini terwujud.
“Secara khusus atas nama keluarga besar almarhum mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan yang disampaikan oleh Ketua Umum Pemuda Batak Bersatu Bapak Lambok Sihombing kepada kami walaupun melalui sambungan telepon karena kondisi pandemi sekarang. Dan kami berharap semoga ke depan dukungan semakin banyak khususnya para generasi muda dari berbagai kalangan, sekaligus untuk belajar menggali, mengenang, agar jangan melupakan sejarah,” harap Batara Hutagalung.
Sepenggal Riwayat Perjuangan Alm. Letkol. TNI (Purn) dr. Wiliater Hutagalung, Disadur dari Buku Autobiografi Letkol TNI (Purn) dr. Wiliater Hutagalung:
“Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa”
Letkol. TNI (Purn) dr. Wiliater Hutagalung, Lahir di Tarutung, Sumatera Utara pada 20 Maret 1910. Meninggal di Jakarta, pada 29 April 2002, di usia 92 tahun.
Di Masa Penjajahan Belanda. Sampai Tahun 1942
Ketika masih di Sekolah Dokter di Surabaya, NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School), ikut aktif dalam organisasi Indonesia Muda (IM) yang dibentuk setelah Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Juga ikut gerakan bawah tanah, “Kendi,” melawan penjajahan Belanda. Lulus sekolah dokter NIAS tahun 1937.
Karena sering melakukan provokasi terhadap Belanda, tahun 1941 dikenakan tahanan rumah, dan dipersiapkan akan dibuang ke Boven Digul (Digul Atas), Irian Barat. Harus mengikuti pendidikan lanjutan khusus untuk penyakit Malaria, yang banyak diderita oleh para tahanan pribumi di Boven Digul, sebagian besar adalah mereka yang terlibat dalam pemberontakan PKI tahun 1926/1927.
Pada 7 Desember 1941 pecah Perang Dunia II di Asia Timur, diawali dengan penyerangan tentara Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Pecahnya Perang Dunia di Asia Timur menyebabkan deportasi dr. Wiliater Hutagalung ke Boven Digul tidak dapat dilaksanakan.
Di Masa Pendudukan Tentara Jepang, 1942 – 1945
Tanggal 9 Maret 1942 Belanda resmi meyerah kepada tentara pendudukan Jepang. Wilayah bekas jajahan Belanda di bagian barat di bawah pemerintahan militer Angkatan Darat Jepang, berkedudukan di Batavia, yang namanya kemudian diganti oleh Jepang menjadi Jakarta pada 8 Agustus 1942. Wilayah timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang, yang berpusat di Surabaya.
Pendidikan khusus untuk memberantas penyakit Malaria ternyata menjadi sangat berguna di masa pendudukan tentara Jepang di wilayah bekas jajahan Belanda. dr. Wiliater Hutagalung diikutsertakan oleh pemerintah militer Jepang di Surabaya di bidang kesehatan, terutama dalam menangani masalah2 yang sehubungan dengan penyakit Malaria. Hal ini dimanfaatkan oleh dr. Wiliater Hutagalung untuk membantu melakukan pemberantasan penyakit Malaria, a.l. di Jawa Timur dan di Banten.
Karena keberhasilannya menangani penyakit Malaria di beberapa wilayah, dr. Wiliater Hutagalung mendapat kepercayaan yang besar dari pimpinan militer Jepang di Surabaya. Hal ini dimanfaatkan oleh dr. Wilater Hutagalung untuk menolong banyak pribumi yang mendapat kesulitan dari tentara Jepang.
Di Awal Kemerdekaan 1945
Dr. Wiliater Hutagalung ikut berperan dalam mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Surabaya. Mendapat pangkat Kolonel dan menjabat sebagai Kepala Liaison (penghubung). Kemudian Kol. Dr. Wiliater Hutagalug ditugaskan untuk mengumpulkan mantan anggota PETA di Gresik, Mojokerto, Sidoarjo, dan Jombang untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat. BKR – BKR di Surabaya dan sekitarnya. BKR kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang menjadi Divisi VI Pari Anom. Nama Pari Anom kemudian diganti menjadi Narotama, cikalbakal Divisi Brawijaya sekarang.
Berperan Dalam Pembentukan Pasukan Sriwijaya
Tahun 1943 Jepang membentuk Giyugun (Pasukan Sukarela) di Sumatera Utara, yang terdiri dari pemuda-pemuda asal Aceh, Deli dan Tapanuli. Sekitar 2000 anggota Giyugun dikirim ke Morotai, Halmahera Utara, untuk membantu tentara Jepang menghadapi perang melawan tentara Amerika Serikat.
Setelah Jepang menyerah kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945, sisa pasukan Giyugun yang masih hidup dilepaskan tanpa diurus kepulangan mereka ke Sumatera Utara, sehingga semua harus mencari jalan sendiri untuk kembali ke Sumatera Utara. Sekitar 400 pemuda mantan anggota Giyugun terdampar di Surabaya.
Secara kebetulan Kol. TNI dr. Wiliater Hutagalung beremu dengan dua orang pimpinan mantan anggota Giyugun yang terdampar di Surabaya. Mereka menerima usul Kol. Dr. W. Hutagalung untuk tinggal di Surabaya dan membentuk pasukan sendiri. Pasukan tersebut dinamakan Pasukan Sriwijaya.
Dalam pertempuran 28/29 Oktober 1945 di Surabaya, mereka ikut dalam penyerangan terhadap pos pertahanan Inggris. Dalam perang melawan agresi militer Inggris yang dimulai dengan pemboman atas Surabaya pada 10 November 1945, mereka ditempatkan di perbentengan di Kedung Cowek, karena mereka memiliki pengalaman dalam menggunakan meriam-meriam besar peninggalan tentara Jepang. Sebagian besar dari pemuda-pemuda asal Aceh, Deli dan Tapanuli gugur di benteng-benteng di Kedung Cowek, Surabaya.
Berperan Dalam Pertempuran 28/29 Oktober 1945 di Surabaya
Kol. Dr. Wiliater Hutagalung ikut berperan dalam pertempuran heroik di Surabaya yang berlangsung dari tanggal 28 – 29 Oktober 1945, menggempur 8 pos pertahanan tentara Inggris di bawah komando Brigjen AWS Mallaby. Dalam pertempuran yang berlangsung selama dua hari dua malam, tentara Inggris, salahsatu pemenang Perang Dunia II terpaksa mengibarkan BENDERA PUTIH, meminta berunding. Di pos pertahanan Inggris di Darmo, Kol. dr. Hutagalung menerima perwira Inggris, Kapten Flower, yang membawa bendera putih untuk berunding. Atas permintaan Panglima tentara Inggris, Mayjen Hawthorne, Presiden Sukarno ke Surabaya untuk menyelesaikan “The Sourabaya incident” (versi tentara Inggris). Ketika menyebar-luaskan kesepakatan gencatan senjata di 8 pos pertahanan Inggris, dalam suatu peristiwa tembak-menembak di depan gedung Internatio dekat Jembatan Merah, Brigjen Mallaby tewas. Tewasnya Brigjen Mallaby dijadikan alasan oleh tentara Inggris untuk “menghukum” rakyat Surabaya.
Berperan dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya/Jawa Timur
Pada 10 November 1945, tentara Inggris melancarkan serangan terbesar setelah berakhirnya Perang Dunis II, dengan mengerahkan pasukan darat, laut dan udara.
Dalam pertempuran yang berlangsung selama lebih dari tiga minggu, Letkol dr. Wiliater Hutagalung, sebagai dokter Resimen dari Divisi VI (waktu itu) memimpin pasukan para-medis untuk mendirikan Rumah Sakit darurat untuk menolong dan merawat prajurit yang luka-luka di medan pertempuran. Rumah Sakit – Rumah Sakit darurat terpaksa berpindah-pindah tempat karena serangan tentara Inggris yang memukul mundur pasukan Indonesia.
Setelah gencatan senjata yang diikuti dengan perundingan Linggajati, Letkol TNI dr. Wiliater Hutagalung berdinas di Kementerian Pertahanan di Yogya. Karena ketika pembentukan BKR/TKR tahun 1945, siapapun dapat menentukan pangkatnya sendiri, maka tahun 1948 dilakukan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) di TNI. Kolonel dr. Wiliater Hutagalung mewakili Kementerian Pertahanan dalam Panitia Re-Ra. Salahsatu keputusan Panitia Re-Ra adalah penurunan pangkat semua perwira. Kol. Dr. Wiliater Hutagalungpunjuga turun pangkatnya menjadi Letnan Kolonel.
Berperan Dalam Menangani Hijrah Siliwangi, Februari 1948
Belanda melanggar Perjanjian Linggajati dengan melancarkan agresi militer pertama tanggal 22 Juli 1947. Agresi militer Belanda berakhir dengan Perundingan Renville. Sebagai hasil perundingan Renville, pihak Republik Indonesia harus menarik pasukan2 TNI dan laskar-laskar pemuda pendukung Republik Indonesia dari wilayah-wilayah yang dikuasai oleh tentara Belanda.
Pasukan terbesar yang harus keluar dari wilayah Belanda adalah Divisi Siliwangi dan berbagai laskar di Jawa barat. Jumlah pasukan Divisi Siliwangi dan laskar-laskar beserta keluarga yangharus keluar dari Jawa barat diperkirakan lebih dari 30.000 – 40.000 orang. Mereka akan ditampung di Jawa tengah. Pihak Republik Indonesia hanya diberi waktu selama tiga minggu.
Bedasarkan konsep yang disusunnya dalam rapat di Kementerian Pertahanan, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung ditunjuk langsung oleh Presiden Sukarno untuk menangani kepindahan Pasukan Siliwangi, yang kemudian dikenal dalam sejarah sebagai Hijrah Siliwangi. Ketua Panitia Hijrah adalah Menteri Muda Pertahanan Aroedji Kartawinata. Letkol dr. Wiliater Hutagalung diangkat sebagai Sekretaris merangkap Bendahara dan menjadi penaggungjawab utama.
Berperan Dalam Mengantisipasi Agresi Militer Belanda II
Selain sebagai perwira menengah yang tergolong senior, Letkol dr. Wiliater Hutagalung juga termasuk dalam tim dokter yang merawat Panglima Besar Jenderal Sudirman. Oleh karena itu Hutagalung selalu ikut terlibat dalam semua perundingan-perundingan penting di jajaran pimpinan TNI.
Setelah Perjanjian Renville ditrandatangani, pimpinan TNI mendapat informasi, bahwa belanda terus mendatangkan tentara dalam jumlah besar dari Belanda, memperbesar pasukan KNIL dan merekrut pasukan Cina Po An Tui. Oleh karena itu pimpinan TNI memperkirakan, Belanda akan melancarkan agresi militer yang jauh lebih besar dari agresi militer pertama.
Sejak bulan Mei 1948 persiapan menghadapi agresi miiter Belanda dilakukan di seluruh wilayah Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera. Termasuk mempersiapkan tempat Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi,Sumatera Barat.
Letkol. dr. Wiliater Hutagalung ikut terlibat dalam menyusun konsep pertahanan Rakyat Semesta, yang juga dikenal sebagai persiapan Perang Gerilya. Konsep ini dituangkan dalam Perintah Siasat 1 yang ditandatangani Panglima Besar Jenderal Sudirman bulan Juni 1948.
Pada bulan September 1948 Hutagalung diangkat menjadi Perwira Teritorial yang bertugas menyusun jaringan gerilya di Divisi II dan Divisi III (waktu itu) di Jawa tengah. Di masa Perang Gerilya melawan agresi militer Belanda yang dilancarkan pada 19 Desember 1948, Hutagalung menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima divisi III/GM (Gubernur Militer) III Kol. Bambang Sugeng.
Yang telah diantisipasi oleh pimpinan TNI sejak bulan Maret 1948 kemudian terbukti. Pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi militernya terhadap seluruh wilayah Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera.
Walaupun tentara Belanda berhasil menawan hampir semua pemimpin Republik Indonesia, namun Belanda tidak berhasil menghancurkan Republik Indonesia dan TNI. Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tetap menyuarakan eksistensi Republik Indonesa. TNI di Jawa dan Sumatera terus-menerus melancarkan serangan2 terhadap tentara Belanda.
Wakil-wakil Republik Indonesia di luar negeri, terutama di PBB dan di India terus melobi dunia internasional utnuk mendukung perjuangan Indonesia melawan agresi militer mantan penjajahnya. Pada 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi agar Belanda membesaskan para pemimpin Republik Indonesia dan ke meja perundingan yang akan difasilitasi oleh PBB. Diberitakan, bahwa Dewan Keamanan PBB akan bersidang lagi pada bulan Maret untuk membahas konflik Indonesia – Belanda. pemerintah Belanda menolak usulan PBB dengan menyatakan, bahwa Republik Indonesia dan TNI sudah tidak ada lagi.
Sangat Berperan Dalam SERANGAN UMUM 1 MARET 1949
Para gerilyawan TNI juga dapat mendengar siaran radio bahwa Belanda menolak Resolusi PBB tanggal 28 Januari 1949, dengan alasan bahwa Republik Indonesia dan TNI sudah tidak ada. Diberitakan juga, bahwa Dewan Keamanan PBB akan bersidang lagi awal bulan Maret 1949.
Pimpinan TNI berpendapat, untuk menunjukkan kepada dunia internasional atas kebohongan Belanda bahwa TNI sudah tidak ada, dan sekaligus memperkuat posisi delegasi Indonesia di PBB, perlu dilakukan serangan secara besar-besaran di seluruh wilayah basis gerilyawan TNI dai Pulau Jawa, yang tidak dapat ditutup-tutupi oleh Belanda.
Oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman, Letkol TNI dr. Wiliater Hutagalung ditugaskan untuk menyusun konsep serangan, yang harus diketahui oleh dunia internasional.
Serangan Umum secara besar-besaran TNI di Divisi I (Jawa Timur), Divivi II (Jawa tengah Bagian Timur) dan di Divisi III (Jawa Tengah Bagian Barat) dilakukan hampir besamaan awal bulan Maret 1949. Serangan Umum adalah serangan yang serentak dilakukan di wilayah suatu Divisi.
Hutagalung menyusun konsep khusus, yaitu yang waktu itu dinamakan “Serangan Spektakuler Terhadap Yogyakarta” yang diduduki oleh tentara Belanda. Selain mengerahkan pasukan Brigade X ditambah satu Kompi dari Brigade IX serta beberapa laskar, juga dipersiapkan “skenario” agar serangan tersebut diketahui oleh dunia internasional, sehingga dapat mengungkap kebohongan Belanda, bahwa TNI sudah tidak ada.
Dipersiapkan pemuda-pemuda yang tinggi dan gagah, yang fasih berbahasa Inggris atau Belanda. Mereka diberi seragam perwira TNI. Pada waktu dimulai serangan terhadap Yogyakarta, mereka dipersiapkan untuk memasuki Hotel Garuda, di mana para wartawan asing menginap. “Para perwira TNI” tersebut akan menerangkan kepada wartawan asing, bahwa TNI melancarkan serangan besar-besaran terhadap tentara Belanda di seluruh Pulau Jawa.
Teks berita mengenai serangan pada tanggal 1 Maret 1949, telah dibuat oleh Kolonel TB Simatupang, sehari sebelum serangan dilancarkan. Teks berita tersebut disampaikan oleh Simatupang ke dua stasiun pemancar di Playen dan Wiladek di Jawa tengah, dengan pesan agar disiarkan setelah serangan terlaksana.
Pada 1 Maret 1949 pukul 06.00 secara serentak dilancarkan Serangan Umum terhadap pertahanan tentara Belanda di Divisi II dan di Divisi III.
Konsep yang disusun oleh Letkol. dr. Wiliater Hutagalung berjalan lancar. Serangan terhadap Yogyakarta dilancarkan pada 1 Maret 1949 mulai pukul 06.00 sampai pukul 12.00. Berita mengenai serangan tersebut secara estafet disiarkan darei Playen dan Wiladek ke Banten, kemudian diteruskan ke Bukittinggi. Siaran dari dari Bukittinggi dapat ditangkap di Kuta Raja (sekarang Banda Aceh) Selanjutnya siaran dari Kuta Raja dapat mencapai Singapura dan New Delhi, India. Dari Singapura dan New Delhi berita mengenai serangan besar-besaran yang dilakukan oleh TNI sampai ke PBB di Amerika Serikat. Dunia internasional kini mengetahui kebohongan Belanda, dan ternyata Tentara nasional Indonesia masih ada, serta sanggup melancarkan serangan secara besar-besaran terhadap pertahanan tentara Belanda di pulau Jawa.
Fase perang mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda keII yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, sangat menentukan hidup-matinya Negara dan bangsa Indonesia. Apabila TNI kalah dalam perang tersebut, maka Negara dan Bangsa Indonesia lenyap dari peta politik dunia.
Agresi militer Belanda II berakhir dengan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Sebagai hasil KMB,l dibentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana Republik Indonesia (RI) menjadi satu dari 16 Negara Bagian RIS.
Letkol TNI dr. Wiliater Hutagalung diangkat menjadi Kwariermeestergeneraal Staf “Q” (Kepada Staf “Q” yang membidangi logistik), yang memimpin delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda untuk melaksanakan serah-terima perlengkapan KNIL ke TNI, sesuai dengan hasil Perundingan KMB.
Mengundurkan diri dari TNI
Setelah selesai menjalankan tugas sebagai Ketua Delegasi RI dalam serah-terima perlengkapan KNIL ke TNI, Letkol TNI dr. Wiliater Hutagalung mengundurkan diri dari dinas di TNI, karena tidak setuju dengan hasil KMB, yaitu:
- Pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
- Republik Indonesia yang harus membayar kepada Belanda utang negara Nederlands Indie (India Belanda) kepada pemreintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden (setara dengan US $ 1,1 milyar). Di dalam jumlah 4,5 milyar gulden, termasuk biaya dua agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia.
- Diterimanya mantan tentara KNIL ke tubuh TNI. Dari sekitar 65.000 orang mantan tentara KNIL, sekitar 23.000 diterima di TNI dengan pangkat yang sama. Tetapi sebelum KNIL dibubarkan, pangkat mereka dinaikkan sampai dua tingkat. Di tahun 1970-an ada bekas tentara KNIL yang sampai tahun 1949 berperang di pihak Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia, mencapai pangkat Mayor Jenderal di TNI.
Demikian peran Letkol TNI dr. Wiliater Hutagalung dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia
Catatan:
Isteri dari Pahlawan Nasional dr. Ferdinand Lumban Tobing, Anna Paulina, adalah adik kandung dari isteri Letkol. TNI dr. Wiliater Hutagalung, Maria Dora.
(sumber: https://batarahutagalung.blogspot.com/2020/04/riwayat-perjuangan-letkol-tni-purn-dr.html)
(raja)