Kuala Kapuas, ZI – Konteks pluralisme hukum tentu menjadi tantangan bagi pengadilan dalam menerapkan hukum. Bagaimana proses rekonsiliasi dan negosiasi karena tuntutan pluralisme hukum tersebut akan bermuara pada tujuan putusan yang dijatuhkan. Dalam bidang hukum keluarga yang sarat dengan pluralisme hukum, meski telah terdapat unifikasi hukum, pendekatan pemahaman hukum relasional terhadap hukum keluarga perlu dipertimbangkan.
Pendekatan ini mengandaikan pertimbangan atas dua hal penting, yaitu pengakuan eksternal atas ketentuan hukum dalam teks undang-undang dan kesesuaian internal dalam sistem hukum.
Yang pertama, bahwa undang-undang adalah hukum yang berlaku sejauh undang-undang tersebut sesuai dengan norma-norma lain yang ada di luar ketentuan teks undang-undang, termasuk hukum yang hidup dalam masyarakat.
Yang kedua, bahwa sebuah ketentuan hukum dalam teks undang-undang bersesuaian dengan ketentuan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang lain dalam sebuah sistem hukum.
Persoalannya adalah ketika dalam realitas terdapat dualisme hukum, antara teks undang-undang dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sebagai contoh, dalam perkara itsbat nikah. Pasangan menikah di bawah tangan ketika belum memenuhi syarat minimal usia perkawinan. Secara agama, dalam hal ini pemahaman agama yang berkembang luas di masyarakat, meski masih belum cukup umur, selama memenuhi syarat dan rukun perkawinan maka perkawinan tersebut adalah sah menurut agama. Dalam fikih tidak ada ketentuan tentang batas minimal usia perkawinan. Sementara, dalam Undang-Undang Perkawinan, terdapat batas minimal usia perkawinan 19 tahun.
Pertanyaannya adalah apakah kasus perkawinan di bawah tangan pasangan yang menikah sebelum memenuhi syarat minimal usia perkawinan dapat disyahkan?
Perspektif hukum atas kasus tersebut akan bermuara terhadap dapat tidaknya permohonan itsbat nikah atas kasus tersebut dikabulkan.
Ketika perspektif hukum lebih menekankan kepada fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial dan tujuan hukum kepastian hukum, tentu kasus tersebut akan ditolak, dengan harapan dapat memberikan pembelajaran bagi masyarakat dan dapat mencegah perkawinan anak di bawah tangan. Namun demikian, dalam konteks dualisme hukum yang ada, mengadili hanya dengan mempertimbangkan ketentuan teks undang-undang dapat menimbulkan ketidakadilan karena bertentangan dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Karena bagi masyarakat, perkawinan tersebut sah menurut agama, namun tidak dapat dinyatakan sah, sehingga menimbulkan konflik norma, dan implikasi atas status hubungan seksual maupun anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Memang, terdapat alternatif yang ditawarkan atas kasus di atas apabila tidak dapat dikabulkan, yaitu dengan melakukan perkawinan ulang atau yang dikenal dengan tajdidun nikah bagi pasangan tersebut. Namun solusi yang demikian juga secara sosial menimbulkan persoalan terkait dengan status hubungan pasangan selama dalam perkawinan di bawah tangan yang tidak ada bedanya dengan ‘kumpul kebo’, yang tentu saja akan menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi pasangan di masyarakat dan menegasikan external recognition atas perkawinan yang sah menurut agama. Selain itu, akibat hukum dari perkawinan terkait harta yang diperoleh selama dalam perkawinan di bawah tangan, juga tidak ada perlindungan hukum, dan rawan menimbulkan sengketa di kemudian hari.
Sementara, terkait dengan status anak, terdapat alternatif untuk mengajukan permohonan penetapan asal-usul anak agar anak dinyatakan sebagai anak dari ayah dan ibu di dalam akta kelahiran. Namun pencatatan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dapat disyahkan tersebut dalam akta kelahiran akan diikuti dengan klausul “dari perkawinan yang belum tercatat sesuai peraturan perundang-undangan. Redaksi yang demikian merupakan bentuk kompromi atas dualisme hukum perkawinan yang sah, sah berdasarkan hukum agama, dan sah berdasarkan hukum negara.
Terkait tujuan rekayasa sosial juga perlu mendapat perhatian yang patut. Hal ini menyangkut efektifitas hukum, sejauhmana masyarakat mematuhi ketentuan hukum dalam teks undang-undang. Selama ini, ada tiga komponen penting dalam hal efektivitas hukum, menurut Lawrence M. Friedman, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Terkait substansi hukum. Tidak ada sanksi bagi pelaku nikah di bawah tangan di Indonesia, sehingga tidak ada efek jera bagi pelanggar hukum keluarga. Ini merupakan internal incompatibility. Pada satu sisi ada ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1/1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun pada sisi lain, tidak ada sanksi bagi pelaku nikah di bawah tangan. Hal lain yang menunjukkan internal incompatibility ini adalah terkait penerbitan akta kelahiran bagi anak sebagai anak dari ayah dan ibu meski perkawinan tidak tercatat, dengan redaksi seperti di atas, baik berdasarkan Kartu Keluarga yang menunjukkan hubungan keluarga sebagai pasangan suami istri maupun surat pernyataan tanggung jawab mutlak kebenaran sebagai pasangan suami istri, sebagai mana diatur dalam Permendagri No. 9 tahun 2016.
Sanksi atau ancaman hukuman bagi pelanggar hukum merupakan bagian dari instrumen hukum agar hukum dipatuhi oleh masyarakat, dan hal ini merupakan ranah dalam hukum publik atau pidana. Persoalannya adalah bagaimana jika upaya agar masyarakat tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku dilakukan melalui putusan perdata?
Hukum perdata merupakan hukum privat yang mengatur hubungan antar individu dengan individu lain yang memiliki akibat hukum. Ketika putusan perdata digunakan untuk memberi sanksi dengan menolak sebuah permohonan, sementara tidak ada sanksi atas pelanggaran ketentuan hukum keluarga, dan ada external recognition atas pelanggaran tersebut, maka sejauhmana efek jera yang ditimbulkan? Ini juga perlu menjadi pertimbangan, jangan sampai tujuan yang diharapkan hanya menjadi ilusi belaka dan tidak ada manfaat dari putusan perdata yang dijatuhkan.
Menurut hemat penulis, penegakkan hukum dalam konteks dualisme hukum, perlu lebih menekankan pada aspek keadilan dan kemanfaatan hukum, dari pada aspek kepastian hukum. Aspek kepastian hukum perlu ditekankan dalam hal terdapat external recognition dan internal compatibility dalam sebuah kasus hukum.
Semoga bermanfaat
Oleh : Muhammad Isna Wahyudi (Ketua Pengadilan Agama Kuala Kapuas)