Perkebunan dan Konflik Lahan

Foto; Hafiz Siregar (Koordinator ZI Labuhanbatu Raya)

Labuhanbatu Raya, ZI – Berdasarkan Permen Menneg Agraria dan Tata  Ruang/ Kepala BPN  N0 7 Tahun 2017 tentang pemberian izin dan lokasi dasar dikeluarkannya HGU sebuah perusahaan perkebunan. Dan selanjutnya paling lambat tiga tahun berselang perusahaan perkebunan harus memfasilitasi 20% dari total luas lahan perkebunan untuk dijadikan plasma sebagai pembinaan untuk masyarakat disekitar lokasi keberadaan suatu perusahaan perkebunan itu sendiri. Tapi pada kenyataannya masih banyak perusahaan perkebunan tidak menerapkan atau bahkan tidak jarang bahwa perusahaan perkebunan tidak memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan, melainkan menjadikan masyarakat sekitar menjadi musuh yang hak-haknya jarang diberikan, katakanlah misalnya bantuan sosial kemasyarakatan (Coorporate Social Responsibility-CSR) sebagai timbal balik terhadap penggarapan lahan masyarakat yang sebelumnya merupakan tanah adat atapun yang di kenal tanah ulayat.

Maka tidak jarang konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan terjadi dikemudian hari, memang satu sisi luasnya lahan yang tidak bertuan pada masa dahulu yang oleh masyarakat disuatu tempat tidak bisa dibangun untuk lahan pertanian secara maksimal kala itu, kalau pun bisa hanya sekedar untuk menyambung hidup semata-mata, sebab perkembangan peradaban manusia disuatu daerah masih sangat terisolir dan tertinggal sebelum maju seperti sekarang, sehingga penduduk cenderung tidak bisa mengolah atau membangun perkebunan secara total, bahkan mereka nomaden (tidak menetap alias berpindah pindah) belum lagi perekonomiannya sangat tidak layak (‘miskin’) pada saat itu.

Dengan kondisi seperti itu, maka perusahaan perkebunan dengan modal yang sangat besar melihat itu sebagai bongkahan gunung emas yang tak bertuan untuk digarap sebagai lahan perkebunan yang modern. Tentunya itu merupakan suatu hal yang sangat wajar disamping bisa membantu para pekerja di sektor formal dan percepatan pegerakan perekonomian khususnya disektor perkebunan.

Masalahnya kemudian muncul tatkala perusahaan itu menggarap lahan mengesampingkan segala bentuk perzinan, atau lahan yang digarap melebihi izin yang ada, bahkan ada kalanya sebuah perusahaan perkebunan tidak mempunyai izin sama sekali dan itu bukan merupakan rahasia umum lagi, ketika riak sudah muncul barulah perusahaan perkebunan mengurus izin.

Karena hampir secara merata perusahaan perkebunan itu mulai membangun sekitar antara tahun 70-80 an, jadi sudah bisa dibayangkan pada saat itu, populasi  penduduk disuatu tempat sangat jarang belum lagi kondisi perekonomiannya sangat susah, infrastuktur tidak mendukung, akses informasi tidak ada, apa lagi tingkat pendidiikan. Tapi meskipun demikian adanya sebuah peradaban masyarakat disuatu tempat tentunya sudah mempunyai hukum adat yang mengikat, tidak terkecuali tanah adat ataupun tanah ulayat, katakanlah kepemilikan hak atas tanah dimana pada saat itu tidak mungkin masyarakat itu bisa memiliki surat tanah, sementara akses untuk pembuatan administrasi pernikahan sendiri pun belum tentu ada untuk beberapa kepala kuluarga memiliki, konon lagi untuk surat hak atas kepemilikan tanah, disini pulah lah yang berlaku hukum tanah adat.

Bacaan Lainnya

Baca Juga :

Bercermin dari persoalan sengketa lahan yang kebetulan menimpa PT. STA dengan masyarakat di Dusun Tanjung Marulak, Desa Huta Godang, Kecamatan Sungai kanan, Labuhanbatu Selatan, dan bisa jadi masih banyak perusahaan perkebunan yang lain menuai kasus yang sama, mengutip ucapan H. Zainal Harahap (angota DPRD Labusel) Fraksi PDIP, ‘bagaimana mungkin bisa sebuah perusahaan perkebunan bisa beroperasi selama 31 tahun tanpa dilengkapi segala dokumen, perizinan, lokasi bahkan HGU, setelah timbul gejolak dari masyarakat, baru kemudian perusahaan perkebunan tersebut mau mengajukan izin segala macam, lalu pertanyaannya kemudian, kenapa Badan Pertanahan Nasional sampai kecolongan, bagaimana pula dengan tunggakan pajaknya  selama itu, lalu siapa yang master mindnya dibelakang, belum lagi masalah plasma yang tidak pernah direalisasikan, padahal dari total lahan perkebunan 20 % harus ada plasmanya, sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria dan tata ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasinal No 7 tahun 2017 hurup c. (1) Pemohon Hak Guna Usaha yang berbentuk badan hukum Perseroan terbatas yang mengajukan Hak Guna Usaha pertama kali dengan luas 250 Ha (dua ratus lima puluh hektar) atau lebih wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar minimal 20 % dari luas tanah yang dimohonkan atas Hak Guna Usaha.

Meskipun Rekomendasi DPRD Labuhanbatu Selatan dari hasil RDP antara PT. STA dan Masyarakat Dusun Tanjung Marulak, Desa Huta Godang, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, pada Selasa 02 November 2021 yang akan ditujukan kepada  pihak-pihak terkait, sesuai hasil rapat yaitu antara lain ke (1) Gubsu, (2) Kapolda su, (3) Bupati Labusel, (4) BPN, (5) Kapolres labuhanbatu. Dengan segala bentuk dan kepentingannya maka masyarakat akan menduga-duga akan ada proses perjalanan panjang yang pada akhirnya akan menghasilkan beberapa kemungkinan, [pertama], tuntutan masyarakat dipenuhi artinya lahan dikembalikan ke masyarakat sebagai tanah adat untuk dikuasai kembali oleh masyarakat, tapi inipun membutuhkan extra perjuangan panjang dan berliku-liku serta pendanaannya yang tidak sedikit tentu akan melelahkan asa, dan tidak tertutup kemungkinan menjadi keputus asaan. [Kedua], akan berakhir dipengadilan. Namun, andai ini yang terjadi, maka harapan masyarakat akan sirna, sebab pada RDP (Rapat Dengar Pendapat) terakhir yang dilaksanakan pada Selasa 2 November 2021 ada pengakuan secara expelisit dari pihak PT. STA ‘bahwa mereka mempunyai dokumen Alas Hak, meskipun diawalawal mereka tidak mau menyebutkan akan dibuka dipengadilan saja, andaikan persoalan dibawa ke pengadilan.’ Dan kemungkinan yang [ketiga], adalah lahan akan kembali ke Negara (Kehutanan), memang kalau bicara keadilan maka kemungkinan yang ketiga yang paling sedikit resiko.

Oleh : Hafiz Siregar (Koordinator ZI Labuhanbatu Raya)

Pos terkait