PN JAYAPURA, ZI | Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jayapura, Derman P. Nababan sebagai Hakim Ketua, Wempy W.J. Duka dan Roberto Naibaho masing-masing sebagai Hakim Anggota menjatuhkan vonis 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan, kepada Terdakwa H. Syamsunar Rasyid (61), penduduk Jl. Beringin RT/RW 003/004 Entrop, Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Provinsi Papua, karena terbukti melakukan tindak pidana “Dengan Sengaja melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan taman wisata alam” pada persidangan, Selasa (30/01/2024) lalu.
Derman P. Nababan, juga sebagai Ketua PN Jayapura, dalam pertimbangannya, bahwa H. Syamsunar Rasyid pada bulan Juni hingga Juli 2023, memerintahkan Saksi Asman untuk melakukan penimbunan lahan hutan Mangrove di Teluk Youtefa, seluas 1,2 Hektar. Penimbunan dilakukan dengan material karang yang dibeli dari Polimak, selanjutnya diangkut menggunakan truk-truk yang disewa 100 ribu rupiah/truk, lalu diratakan dengan alat berat Excavator.
Lebih jauh, Syamsunar mengetahui lahan yang ditimbun tersebut tumbuh pepohonan Mangrove (Bakau) setinggi 10 sampai dengan 15 meter. Bahkan, menurut saksi dari Balai Besar KSDA Papua, telah pasang papan informasi di pinggir Jalan Hamadi Pantai, “Kawasan Konservasi Taman Wisata Alam teluk Youtefa, Dilarang Mengubah Bentang Alam di Kawasan ini”, namun dengan dalih sebagai pemegang Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 00055/Tobati atas nama Eryanto Wibowo, Samsunar tetap melakukan penimbunan.
Majelis Hakim menambahkan fakta yang terungkap di persidangan, lahan yang ditimbun Syamsunar, masuk dalam Kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa, yang keberadaannya dijaga dan dilindungi, sesuai dengan SK Menteri Pertanian No. 372/Kpts/Um/6/1978 tanggal 9 Juni 1978 sebagai Hutan Wisata cq.Taman Wisata yang luasnya lebih kurang 1.650 Hektar. SK Menteri Kehutanan RI No. 714/Kpts-II/1996 tanggal 11 November 1996, tentang Penetapan Kawasan Teluk Youtefa sebagai kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai Taman Wisata Alam; dan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6632/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021 tanggal 27 Oktober 2021 Tentang Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Provinsi Papua Tahun 2020;
Di akhir putusan, Majelis Hakim juga mempertimbangkan nota pembelaan Penasehat Hukum Terdakwa Dr. James Simanjuntak, SH, MH, yang menyatakan lebih dari sepuluh tahun lalu, Terdakwa membeli lahan tersebut dari Pemilik Tanah Adat, yaitu Hengky Dawir sebagai Kepala Suku Dawir, bahkan telah terbit SHM No. 00055/Tobati, atas nama Eryanto Wibowo, tanggal 30 Augustus 2012. Sehingga sebagai pemilik hak, Terdakwa tidak dapat dipersalahkan. Namun Majelis Hakim mengenyampingkan Nota Pledoi Penasehat Hukum Terdakwa tersebut, dengan merujuk pada ketentuan Pasal 11 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang berbunyi: “Terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan” yang dalam penjelasannya berbunyi “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hak atas tanah pada kawasan hutan diatur dalam peraturan perundang-undangan”, oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat, bahwa dalam Kawasan Taman Wisata Alam, tidak boleh diterbitkan Sertifikat Hak Milik.
Selain itu, Majelis Hakim juga menyatakan sesuai ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Hak Atas Tanah, karena ternyata lahan yang diterbitkan Sertifikat tersebut adalah masuk kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai Taman Wisata Alam, sehingga data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya tidak benar. Lebih jauh Majelis Hakim menjelaskan, menurut Pasal 32 Ayat (2) PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam: “Kegiatan pemanfaatan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak merusak bentang alam dan mengubah fungsi Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, kegiatan pemanfaatan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa tidak diperbolehkan merubah bentang alam”, oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat tindakan Terdakwa yang mengubah bentang alam di Kawasan tersebut adalah perbuatan yang dilarang; “Memang, pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat dibenarkan, tetapi tidak untuk mengubah bentang alam,” ujar Derman.
Kemudian, Majelis Hakim juga mempertimbangkan fakta dan juga dijadikan Penasihat Hukum Terdakwa sebagai dalil pembelaannya, keberadaan bangunan lain dan ratusan rumah penduduk di atas lahan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa tersebut. Majelis Hakim berpendapat, fakta tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar atas perbuatan Terdakwa. Majelis Hakim menegaskan, Aparat Penegak Hukum haruslah melakukan Penegakan hukum yang adil, dengan memproses pihak-pihak yang diduga melakukan perusakan Kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa tersebut; “Pembangunan tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan perlindungan terhadap lingkungan hidup, tetapi harus dengan prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals), yang memenuhi kebutuhan hidup, sosial dan ekonomi masa sekarang dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup generasi mendatang. Pembangunan haruslah memperhatikan kualitas hidup manusia pada masa kini dan masa depan secara berkelanjutan” ujar Derman, Hakim bersertifikasi Hakim Lingkungan Hidup tersebut di hadapan Terdakwa didampingi Penasihat Hukumnya;
Di akhir pertimbangan Hukumnya, Majelis Hakim juga menegaskan prinsip penegakan hukum lingkungan hidup adalah In Dubio Pro Natura, artinya apabila secara nyata lingkungan sudah mengalami kerusakan, maka sekali pun pembuktian meragukan akan siapa pelaku perusakan tersebut, maka Hakim haruslah pro kepada lingkungan. Karena secara nyata berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan Kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa telah ditimbun oleh Terdakwa seluas lebih kurang 1 (satu) hektar, maka Terdakwa haruslah dipersalahkan atas timbulnya kerusakan Hutan Mangrove tersebut;
“Menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah “Dengan Sengaja melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain taman wisata alam”, dan untuk itu Terdakwa dijatuhi Pidana 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan, serta dijatuhi denda sejumlah 100 juta rupiah, subsidair 6 (enam) bulan kurungan” sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 33 Ayat (3) Jo Pasal 40 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ujar Derman, sambil mengetuk palu sidang.
Tidak terima atas putusan Hakim tersebut, Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi Jayapura, 1/02/204. Saat ini perkara tersebut masih diperiksa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jayapura. (Hms/red)