Penulis; Agnes Ruth Febianti Siahaan, SH., (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UNILA)
I. Pendahuluan
Lingkungan Hidup adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan berhubungan timbal balik. Dapat dikatakan bahwa lingkungan hidup adalah sistem yang merupakan kesatuan ruang antara makhluk hidup dan komponen abiotik lainnya. Lingkungan adalah tempat dimana seluruh makhluk yang ada di bumi bernaung dan bertempat tinggal sehingga pengelolaan dan pemanfaatan terhadap lingkungan hidup. Ada beberapa aspek mendasar dalam mengkaji pengelolaan dan pemanfaatan hukum lingkungan yaitu prinsip dan karakter yang mendasari dan membawanya pada suatu sistem hukum tersendiri serta sifat yang membawanya pada kesesuaian objek yang diaturnya.
Pengaturan tentang Lingkungan Hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyederhanakan beberapa peraturan termasuk diantaranya peraturan tentang Lingkungan Hidup.
Sejak diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja, banyak sekali reaksi kontra serta kritik terhadap banyak pasal yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Termasuk diantaranya Undang-Undang Lingkungan Hidup (PPLH). Banyak Pasal dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup yang diubah saat diperbaharui di Undang-Undang Cipta Kerja. Meskipun telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, namun nyatanya Mahkamah Konstitusi masih memberikan ruang bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan selama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Artinya apabila dilakukan perbaikan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan, maka Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan konstitusional dan berlaku mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perubahan pengaturan mengenai Lingkungan dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut dianggap beberapa pihak tidak sesuai dan sejalan dengan prinsip dasar pengelolaan lingkungan hidup yaitu dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup serta dampak dari pengelolaan lingkungan terhadap masyarakat yang secara langsung terkena dampak dari pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, Penulis akan membahas mengenai prinsip-prinsip dasar lingkungan hidup dalam Undang-Undang PPLH dan dalam Undang Undang Cipta Kerja.
II. Pembahasan
A. Prinsip Dasar Lingkungan Hidup
Prinsip Dasar Hukum Lingkungan bertitik tolak pada amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kebijaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan penyesuaian pada perkembangan global internasional yang juga merupakan faktor penting dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan demikian prinsip Hukum Lingkungan yang harus dipegang oleh seluruh pengelola lingkungan adalah:
- Prinsip tanggung jawab negara, hak atas lingkungan hidup adalah bagian dari HAM;
- Prinsip konservasi;
- Prinsip keterkaitan, berkelanjutan, pemerataan, sekuriti dan risiko lingkungan, pendidikan dan komunikasi yang berwawasan lingkungan;
- Prinsip kerja sama internasional;
- Prinsip penanggulangan pada tempatnya;
- Prinsip sarana praktis/teknis yang terbaik;
- Prinsip pencemar membayar;
- Prinsip cepat tangkal;
- Prinsip perbedaan regional;
- Prinsip beban pembuktian terbalik;
- Prinsip umum pemerintahan yang baik.
Beberapa prinsip dasar hukum lingkungan tersebut telah diterapkan dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun dalam Undang-Undang Cipta Kerja banyak aspek dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang direduksi keseluruhan dampak positif yang muncul terkait kelestarian lingkungan. Di antaranya karena ada relaksasi pada pelaporan bisnis yang selama ini membutuhkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Hal ini tentunya tidak sejalan dengan pelestarian lingkungan hidup yang menjadi salah satu prinsip dasar dari Hukum Lingkungan.
Berdasarkan hal tersebut banyak kontra dan kritik yang muncul terhadap Undang-Undang Cipta Kerja terkait kebijakannya terhadap keberlangsungan pelestarian lingkungan.
B. Perbedaan Pengaturan Lingkungan Hidup Dalam UU PPLH Dengan UU Cipta Kerja
Hal | UU PPLH | UU Cipta Kerja |
Tahapan | 1.Proses dokumen lingkungan (Amdal atau UKL-UPL) 2.Persetujuan lingkungan, 3.Izin Lingkungan 4.Izin Usaha | 1.Proses dokumen lingkungan (Amdal atau UKL-UPL) 2.Persetujuan Lingkungan 3.Perizinan Berusaha |
Dasar proses perizinan | Kategorinya berdampak penting dan tidak berdampak penting bagi lingkungan | Kategorinya risiko tinggi, risiko menengah dan risiko rendah |
Penilai AMDAL | Komisi Penilai AMDAL (KPA) | Lembaga Uji Kelayakan (LUK) |
Pembentuk Penilai AMDAL | Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. | Pemerintah Pusat |
Anggota Penilai AMDAL | – Instansi lingkungan hidup dan teknis terkait; – Pakar bidang lingkungan dan pakar sesuai jenis kegiatan/usaha; – Wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; – Organisasi lingkungan hidup; | LUK menunjuk Tim Uji Kelayakan yang terdiri dari: – Unsur pemerintah pusat dan pemerintah daerah; – Pakar bersertifikat yang kompeten di bidangnya; – Masyarakat yang terkena dampak langsung; |
Unsur masyarakat yang dilibatkan penilaian AMDAL | – Masyarakat yang terkena dampak kegiatan/usaha; – Pemerhati lingkungan; – Masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL; | – Masyarakat yang terkena dampak langsung; |
Bantuan dari pemerintah berupa fasilitas, biaya dan/atau penyusunan AMDAL | Bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. | Bagi usaha dan/atau kegiatan usaha Mikro dan Kecil yang berdampak penting terhadap lingkungan baru. |
Jika terjadi pelanggaran lingkungan | Konsekuensi terhadap Izin Lingkungan. | Konsekuensi terhadap perizinan berusaha |
Dari perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa yang paling mencolok adalah aturan perizinan lingkungan bagi pelaku usaha. Berbagai peraturan dalam Undang-Undang Cipta Kerja telah memangkas sejumlah birokrasi dalam investasi yang bersinggungan dengan lingkungan. Kini izin investasi tidak lagi seragam melainkan tergantung pada tingkatan risiko dari usaha yang dijalankan. Demikian juga terdapat sejumlah perubahan dalam prosedur penilaian AMDAL. AMDAL tidak lagi dijadikan dasar untuk penerbitan izin lingkungan. AMDAL hanya perlu dibuat apabila risiko yang ditimbulkan dari usaha adalah risiko tinggi. Banyak kalangan yang menyangsikan kebijakan tersebut karena AMDAL adalah analisi yang seharusnya dibuat sejak awal oleh semua pelaku usaha dan merupakan syarat diterbitkannya Izin Lingkungan. Kemudian dileburnya Izin Lingkungan dan Izin Usaha menjadi Perizinan Berusaha. Banyak kalangan menilai disederhanakannya izin tersebut malah membuat kerusakan lingkungan semakin menjadi karena dengan ditiadakannya AMDAL pada usaha dengan risiko rendah dan menengah maka akan membuat semakin menjamurnya usaha kecil yang berdampak bagi lingkungan. Kemudian tanpa adanya Izin Lingkungan maka dan langsung Perizinan Berusaha maka akan sangat mudah bagi pelaku usaha merusak lingkungan melalui izin yang dipegangnya.
C. Penyederhanaan Perizinan Dalam Undang-Undang Cipta Kerja
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Undang-Undang Cipta Kerja diundangkan untuk memangkas birokrasi yang panjang dan njelimet agar menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi para pelaku usaha maupun investor. Jika yang dipermasalahkan adalah Izin Lingkungan dan Izin Usaha yang dilebur menjadi Perizinan Berusaha maka jika mencermati Undang-Undang PPLH maka dapat dilihat bahwa Undang-Undang PPLH tidak mengatur secara tegas hubungan hukum antara Izin Lingkungan dengan Izin Usaha/Kegiatan. Hubungan keduanya masih bersifat fragmented scheme dimana izin yang satu seolah tidak terkait dengan izin lainnya. Sehingga walaupun banyak terjadi pelanggaran izin lingkungan, sulit bagi pemerintah untuk melakukan penegakan hukum. Pemerintah hanya bisa memberikan teguran kepada pemegang izin untuk memperhatikan kelestarian lingkungan. Pemerintah seolah tidak berdaya untuk memberikan sanksi lebih berat seperti pencabutan izin usaha atau kegiatan jika pelaku usaha tidak memperhatikan teguran tersebut. Salah satu kendala juga jika salah satu izin misalnya Izin Lingkungan sudah dilanggar oleh suatu perusahaan maka izin lainnya seperti Izin Usaha Pertambangan masih dapat dijadikan alat untuk menjalankan aktivitas usahanya.
Undang-Undang Cipta Kerja justru menyederhanakan proses perizinan dengan mengintegrasikan Izin Lingkungan dan Izin Usaha ke Perizinan Berusaha. Penyederhanaan tersebut diharapkan dapat meringkas sistem perizinan sekaligus memperkuat penegakan hukum bagi pelaku usaha yang merusak lingkungan. Dengan diintegrasikannya Izin Lingkungan dan Izin Usaha ke dalam Perizinan Berusaha, maka apabila terjadi pelanggaran, misal dalam hal standar dan prosedur pengelolaan lingkungan maka yang akan terkena konsekuensi adalah Izin utamanya yaitu Perizinan Berusaha.
Kemudian mengenai ditiadakannya AMDAL pada usaha dengan risiko rendah dan risiko menengah terhadap kerusakan lingkungan, penulis berpendapat bahwa sampai saat ini belum ada aturan yang memberikan klasifikasi usaha-usaha mana yang masuk ke dalam risiko rendah, risiko menengah dan risiko tinggi. konsep dasar pengaturan AMDAL dalam Undang-Undang Cipta Kerja tidak berubah dari ketentuan sebelumnya. Perubahan lebih diarahkan untuk penyempurnaan kebijakan dan aturan pelaksanaan sesuai dengan tujuan Undang-Undang Cipta Kerja yang memberikan kemudahan kepada pelaku usaha dalam memperoleh persetujuan lingkungan dengan tetap memenuhi ketentuan yang ditetapkan.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah pengertian masyarakat yang dapat dilibatkan dalam penyusunan AMDAL belum begitu jelas. Penyebutan masyarakat yang terkena dampak langsung seakan-akan membatasi peran masyarakat dari unsur lainnya misalnya pemerhati lingkungan, baik sebagai individu maupun organisasi. Jadi fungsi kontrol dari berbagai lapisan masyarakat akan kelestarian lingkungan dapat berkurang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran publik atas terbatasnya akses untuk mendapatkan informasi dan partisipasinya dalam uji kelayakan lingkungan hidup. Padahal pada peraturan sebelumnya, masyarakat hanya bisa mengakses hasil akhir keputusan Amdal, namun pada aturan baru, masyarakat dapat mengakses mulai dari prosesnya. Berdasarkan keadaan yang terjadi selama ini, seringkali kepentingan masyarakat terkena dampak langsung terdilusi dan tertindih oleh kepentingan lain diluar kepentingan masyarakat terdampak langsung tersebut, sehingga fokus pelibatan masyarakat pada masyarakat terkena dampak langsung adalah untuk memberikan perhatian lebih terhadap mereka, namun tetap membuka ruang bagi pemerhati lingkungan dan LSM Pembina masyarakat terkena dampak.
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat kita lihat bahwa sebenarnya banyak hal yang belum diatur dalam Undang-Undang PPLH dan juga banyak hal yang belum sesuai pengaplikasiannya dalam Undang-Undang PPLH khususnya dalam pengurusan izin. Penyederhanaan izin yang ada di dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang selama ini dikritik karena dapat menyebabkan kerusakan lingkungan nyatanya telah memberikan hubungan hukum yang lebih jelas antara Izin Lingkungan dan Izin Usaha yang telah dilebur menjadi Perizinan Berusaha. Kekhawatiran mengenai peleburan izin yang membuat izin semakin mudah didapat dan akan membuat kerusakan lingkungan semakin parah, justru memberikan ruang bagi pemerintah untuk menindak tegas perusahaan yang membuat kerusakan lingkungan.
Kekhawatiran mengenai peran serta masyarakat dan pihak lain seperti LSM dalam menyuarakan serta menjalankan fungsi control terhadap penilaian AMDAL nyatanya justru memberikan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat yang terdampak langsung untuk menyuarakan kepentingannya tanpa ditunggangi oleh kepentingan lain.
Maka diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja justru memberikan perubahan yang sangat signifikan bagi pemerintah untuk menjalankan fungsi pengawasan dan penjatuhan sanksi tegas bagi masyarakat. Undang-Undang tersebut juga tidak merusak lingkungan atas kemudahan izin yang didapat karena izin yang didapat adalah izin yang sangat krusial untuk terus melanjutkan usahanya sehingga pelestarian lingkungan tentunya akan menjadi prioritas dari perusahaan.
Namun tentunya, setiap kebijakan yang telah dibuat harus tetap diawasi dalam pelaksanaannya. Dengan mereduksi berbagai kebijakan dan birokrasi dalam pengurusan izin, maka akan berbanding lurus dengan izin yang dipegang oleh perusahaan yang pastinya akan semakin sedikit. Apabila izin yang dipegang sedikit, maka sedikit pula kegiatan yang harus diawasi oleh Pemerintah. Maka seharusnya pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan sebagaimana tertulis di dalam izin harus maksimal.
Sebaiknya, Pemerintah melalui DPR dan berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia membentuk suatu lembaga sendiri untuk mengawasi pelaksanaan izin tersebut. Apabila terbukti melanggar persyaratan di dalam izin dalam menjalankan kegiatan eksploitasi maka lembaga tersebut harus bertindak tegas yaitu dengan mencabut izin krusial tersebut.
III. KESIMPULAN
Penyederhanaan perizinan lingkungan dalam Undang-Undang Cipta Kerja dengan mengintegrasikan Izin Lingkungan dan Izin Usaha menjadi Perizinan Usaha diharapkan dapat mempermudah investasi dan penciptaan lapangan kerja. Persyaratan dan kewajiban dalam Persetujuan lingkungan tetap menjadi bagian dari muatan persyaratan dan kewajiban dalam Perizinan Berusaha yang diterbitkan kepada pelaku usaha.
Selama Izin Usaha tidak dicabut maka kegiatan dapat tetap berjalan, namun apabila terjadi pelanggaran misalnya tidak dilaksanakannya kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal maka yang akan terkena konsekuensi adalah pencabutan izin utamanya yaitu Perizinan Berusaha. Dengan demikian perusahaan dapat dicegah dari tindakan pengrusakan lingkungan yang lebih parah dan mendorong pelaku usaha untuk semakin perduli terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Pemerintah perlu terus melakukan sosialisasi tentang perizinan lingkungan berdasarkan UU Cipta Kerja agar tidak terdapat kesalahan informasi dan penafsiran yang makin memicu kekhawatiran masyarakat akan kelestarian lingkungan. DPR sebagai lembaga legislative perlu melakukan fungsi pengawasan terhadap implementasi Undang-Undang Cipta Kerja dengan berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam upaya penegakan hukum lingkungan bersama dengan Pemerintah Pusat agar tujuan dari Undang-Undang Cipta Kerja dapat tercapai.