Jakarta, ZI – Nama Muchtar Pakpahan di kalangan buruh dan pejabat dari tingkat daerah sampai nasional pasti sudah tidak asing lagi. Karena dia adalah salah satu aktivis buruh yang mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) pada tanggal 25 April 1992 di Cipayung, Jawa Barat. Saat itu, ada beberapa tokoh besar yang turut hadir memprakarsai pembentukan organisasi buruh. Seperti Gus Dur, Rachmawati Soekarnoputri, Sabam Sirait dan dokter Sukowaluyo Mintohardjo. Dalam pertemuan perdana tersebut, Mucthar Pakpahan lalu terpilih menjadi Ketua Umum SBSI yang pertama.
Masa Cilik di Kampung Halaman
Pria kelahiran Bah Jambi 2 Tanah Jawa Simalungun, Sumatera Utara pada 21 Desember 1953 ini, menghabiskan masa kecil di kampung halaman bersama keluarga besar. Dia memulai sekolah di Sekolah Dasar 06 (selesai 1966) serta Sekolah Menengah Pertama di Tanah Jawa (selesai 1969), Simalungun, tidak jauh dari rumahnya. Muchtar panggilan akrabnya, selama menempuh pendidikan di tanah kelahiran hidup bahagia bersama kedua orang tua, dan menjalani kehidupan seperti anak-anak lain yang mendapatkan perhatian serta kasih sayang.
Di usia 11 tahun, Muchtar harus menerima kenyataan pahit karena ditinggal oleh sang ayah (Sutan Johan Pakpahan) untuk selamanya. Tetapi kepergian ayahnya tidak terlalu membuatnya larut dalam kesedihan, sebab di satu sisi dirinya dikelilingi oleh orang-orang tersayang seperti ibu dan sanak saudara. Dia lalu bangkit mengembang tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga membantu sang ibu.
Ketika memasuki jenjang Sekolah Menengah Atas, Muchtar mengambil keputusan untuk hijrah ke Medan. Selama di sana, dia harus kerja sampingan sebagai penarik becak agar dapat bertahan hidup dan terlebih khusus menabung untuk kuliah. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 5 Medan pada tahun 1972, dia memilih masuk Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
Namun saat mendengar hasil kelulusan, teman-teman se-angkatan merayakan dengan berpesta pora sehingga dia pun ingin seperti mereka. Karena berasal dari keluarga miskin, ia pun merayakan agak sedikit berbeda dan terkesan unik. Muchtar berdoa kepada Tuhan dan bernazar bahwa seluruh hidupnya akan diabdikan untuk orang miskin, itulah perayaan yang paling berkesan baginya hingga kini.
Dalam berjalannya waktu, tidak ada seorang pun bisa mengetahui kapan keluarga, sahabat, rekan kerja atau orang tersayang dipanggil pulang oleh sang pencipta. Hidup dan mati manusia semua berada di tangan Tuhan. Di usia 18 tahun, Muchtar harus menerima kenyataan pahit untuk kedua kali, karena kehilangan sosok ibunda (Victoria br Silalahi) tercinta yang selama ini menjadi sumber kehidupan dan kekuatan. Menyandang status anak yatim piatu tidak membuatnya putus asa. Muchtar berserah dan menyerahkan seluruh pergumulan hidup kepada Sang Kepala Gerakan, dia yakin dan percaya bahwa hanya melalui pertolongan serta campur tangan Tuhan Yesus cita-citanya dapat diraih.
Melayani Masyarakat, Keluar Masuk Penjara
Sejak menjadi mahasiswa dia lantang bersuara dan melakukan aksi protes atas ketidakadilan yang dialami oleh kaum buruh, petani dan nelayan di bawah rezim orde baru yang membungkam ruang demokrasi menggunakan moncong senjata. Muchtar kemudian memulai karier dari bawah sebagai reporter Koran Sinar Harapan Edisi Sumatera Utara (1975-1976), dari situ semangatnya semakin tumbuh untuk membela kaum terpinggirkan.
Di kampus dia juga aktif berorganisasi dan menduduki jabatan strategis. Seperti menjadi Senat Mahasiswa Fakultas Hukum USU, dan BPC GMKI Medan Masa Bakti 1978-1979. Militansi dan komitmennya dalam medan layan tidak perlu diragukan lagi. Setelah menjadi Sarjana Hukum dia lalu membuka kantor pengacara bersama rekan-rekan, dan menjadi advokat sejak 1985. Mereka fokus pendampingan hukum bagi petani, buruh dan nelayan yang tersangkut masalah hukum ataupun melakukan advokasi memperjuangkan hak-hak.
Hal ini menyebabkan dia sering kali dianiaya bahkan sampai pada ancaman pembunuhan oleh militer ataupun orang suruhan. Penderitaannya tidak sampai di situ, berulang kali mendapatkan intimidasi serta keluar masuk penjara dengan tuduhan menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedekatan dengan gerakan buruh, tani dan nelayan mengakibatkan dia dicap bagian dari PKI. Di mata rezim orba, PKI adalah dalang atas semua peristiwa kelam tahun 60an.
Maka orang-orang yang dianggap simpatisan dan anggota PKI hukumnya wajib dilenyapkan atau penjara tanpa proses peradilan. Bukan hanya itu, mereka dibuang ke tempat pengasingan di berbagai daerah. Melalui kekuatan militer, negara dengan seenaknya membungkam setiap gerakan perlawanan rakyat. Aktvis-aktivis yang dinilai lantang bersuara mengkritik pemerintah ditangkap lalu dijebloskan ke dalam penjara, salah satunya Muchtar Pakpahan.
Lelaki yang sempat menjadi dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan tahun 1981-1986 tersebut, dipecat atas perintah langsung Pangdam Bukit Barisan karena dianggap menghidupkan PKI. Selain jadi dosen di kampus tersebut, dia juga dipercaya menjadi Sekretaris Eksekutif Unit Bantuan Hukum pada rentang waktu 1982-1984.
Dia lalu merantau ke Jakarta dan selama di sana mengajar pada Universitas Kristen Indonesia dan Universitas Tujuh Belas Agustus (1990-1994). Beliau berkarir di UKI sebagai dosen Fakultas Hukum UKI Jakarta, sekaligus Ketua Jurusan Hukum Tata Negara FH UKI Jakarta pada rentang waktu 1988-1990. Tahun 1994 dia tertangkap di rumah, selanjutnya dibawa ke Rumah Tahanan Tanjung Gusta Medan. Dari balik jeruji besi lagu perjuangan serta teriakan-teriakan perlawanan terus berkumandang tanpa merasa takut sedikitpun. Namun sebelum meringkuk di penjara Muchtar telah terpilih sebagai ketua SBSI tahun 1992 hingga 2003. Selain itu, beliau juga menjadi salah satu Ketua DPP Persatuan Intelligensia Kristen Indonesia (PIKI) tahun 1989-1993.
Mendekam dalam penjara tidak sedikitpun membuat idealismenya pudar. Sekeluar dari Rumah Tahanan Tanjung Gusta, Muchtar tetap konsisten di garis depan perlawanan. Juli 1996, dia kembali ditangkap dan dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang karena menulis buku “Potret Negara Indonesia”. Karyanya itu dianggap membahayakan Orde Baru sehingga hampir dikenakan ancaman pidana seumur hidup.
Eskalasi Aktivitas Politik
Tahun 1998 merupakan puncak dari kemarahan masyarakat Indonesia. Petani, nelayan, kaum miskin kota, mahasiswa, buruh dan berbagai elemen lainya tumpah ruah turun ke jalan melakukan aksi protes terhadap Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Soeharto dinilai bertanggungjawab atas persoalan bangsa Indonesia ketika itu. Demonstrasi di daerah-daerah terutama ibukota berhasil menggulingkan rezim otoriter dari kursi kekuasan.
Tetapi perjuangan tersebut meninggalkan catatan kelam, sebab ketika itu puluhan mahasiswa diculik dan hingga kini belum ditemukan serta keberadaan mereka masih misterius. Ada juga sebagian dibunuh oleh militer maupun orang-orang bayaran saat melakukan demo, seperti Kasus Semanggi.
Lahirnya reformasi membuat Muchtar memiliki kesempatan memperjuangkan kaum buruh di parlemen. Ia bersama kawan-kawan aktivis SBSI membentuk Partai Buruh Nasional (PBN) dan mengikuti pemilu pada tahun 1999. Tetapi mereka tidak mendapatkan suara yang cukup sebagai syarat menempatkan wakilnya di lembaga legislatif. Kekalahan dalam pemilu 1999 adalah pelajaran penting yang semakin membangkitkan semangatnya agar terus berkarya dan memperjuangkan hak-hak buruh. Kekalahan Partai Buruh Nasional tahun 1999, menjadi pembelajaran penting bagi kontestasi Partai Buruh Sosial Demokrat (2004) dan Partai Buruh (2009).
Paripurna Akademik
Setelah menamatkan Strata 1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada 1981, Muchtar Pakpahan melanjutkan S2 di Universitas Indonesia (selesai tahun 1989). Doktoral Hukum-nya juga diselesaikan di UI pada tahun 1993, dan terakhir setelah menang gugatan di PTUN beliau menyandang gelar Profesor dari Universitas Kristen Indonesia. Hal ini terjadi karena gelar yang disematkan oleh UKI itu sedikit terhalang di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Penolakan Ditjen Dikti memproses guru besar Muchtar berpangkal pada jumlah kum yang dikumpulkan.
Ada perbedaan pandangan mengenai status karya tulis yang dilampirkan dalam berkas usulan, sehingga mempengaruhi jumlah kum. Artikel Muchtar “Welfare State” di Jurnal Bisnis dan Birokrasi, misalnya dipandang Ditjen Dikti bukan sebagai artikel riset, melainkan sebagai hasil pemikiran.
Perbedaan sudut pandang terhadap beberapa karya ilmiah menyebabkan perbedaan hitung-hitungan kum. Namun pada akhirnya beliau memperoleh gelar itu pada 2014. Karya buku yang ditulis Muchtar Pakpahan antara lain: Menarik Pelajaran dari Kedung Ombo (1990), Menuju Perubahan Sistem Politik (1994), DPR Semasa Orde Baru (1994), Potret Negara Indonesia (1995), dan Potret Negara Indonesia Jilid 2 (1996), dan banyak lagi artikel dan tulisan yang terbit di jurnal nasional maupun internasional.
Kala itu, diusianya yang semakin tua, suami dari Rosintan Marpaung tetap menjalankan profesinya sebagai dosen selain juga sesekali mencipta lagu. Pasangan ini memiliki anak tiga orang, masing-masing bernama Binsar Jonathan Pakpahan (pendeta dan dosen STT Jakarta), Johanes Dharta Pakpahan (pengacara dan aktivis buruh), dan Ruth Damai Hati Pakpahan (jurnalis).
Artikel ini sudah tayang di INDNEWS dengan judul : Profil Muctar Pakpahan “Sang Pahlawan Buruh” Keluar Masuk Penjara
Sumber: Kumpulan Biografi Senior GMKI.
Penerbit: Pustakapedia Indonesia.