Bekasi, ZInews – Penyelenggaraan pendidikan gratis untuk jenjang pendidikan dasar secara jelas dan tegas diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, serta Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Berbagai perangkat peraturan yang spesifik mengatur tentang jenis-jenis larangan pungutan pun telah diterbitkan. Disisi lain Pemerintah telah menggulirkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan tujuan khusus untuk membebaskan pungutan bagi seluruh siswa jenjang pendidikan dasar (kecuali rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah bertaraf internasional). Dan sejak Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP mencapai 98,2% pada tahun 2010, Pemerintah juga mengalirkan dana BOS untuk SMA.
Namun, terlepas dari problematika yang dialami sekolah, masih tetap saja ada sekolah melakukan pungutan-pungutan dengan berbagai dalih dan ketidaktahuan batasan atas larangan yang dimaksud dalam aturan.
Untuk memperjelas setiap informasi yang beredar sehingga masyarakat tahu kebenaran dari setiap informasi tersebut, wartawan ZInews lakukan konfirmasi ke pihak sekolah Aren Jaya XIV terkait kegiatan perpisahan kelas 6 yang dilakukan di sekolah juga dugaan pungutan untuk membeli AC, bentuk iuran untuk membayar listrik di ruang kelas dengan besaran Rp. 10.000,00- (sepuluh ribu rupiah) per per siswa/bulan, Kamis (14/07/2022).
Salah seorang guru inisial (I) perwakilan dari pihak sekolah karena Kepala Sekolahnya berhubung lagi rapat menyampaikan, bahwa mengenai perpisahan siswa kelas 6 yang diadakan di sekolah dengan pungutan yang diminta sekolah untuk acara tersebut pihak sekolah tidak mengetahui. Bahkan pungutan apapun di sekolah negeri tidak dibenarkan.
“Sekolah tidak terlibat dengan pungutan untuk acara perpisahan kelas 6. Sekolah hanya memfasilitasi saja. Untuk dana yang diminta dalam pembiayaan acara tersebut, dipungut oleh korlas dan orangtua murid,” ujarnya ke tim ZInews yang juga hadir perwakilan LSM Perbindo.
Kemudian disinggung terkait, dugaan adanya pungutan di sekolah, pembelian AC untuk di ruang kelas, ia mengakui bahwa pembelian AC tersebut benar adanya. Dan itu atas inisiatif dari orangtua murid bersama komite sekolah. Sekolah hanya mengetahui saja.
“Memang benar ada pembelian AC yang dibeli oleh komite sekolah dan orangtua murid tapi itu sudah tiga tahun yang lalu. Kalau untuk pembelian AC kami mengetahui, tapi tidak terlibat. Dan tidak tahu berapa nominal pungutannya mulai dari pembelian, pemasangan AC maupun listrik. Itu yang mengatur adalah komite sekolah dan orang tua murid,” katanya.
Tim bersama LSM Perbindo mempertegas, bagaimana mungkin sekolah tidak mengetahui tentang kegiatan-kegiatan di sekolah? Apakah jabatan komite sekolah berada di atas kepala sekolah sehingga apapun yang dilakukan komite sekolah tidak melalui mekanisme yang ada dan koordinasi? Dan bagaimana pembayaran listriknya, apakah sekolah yang menanggung atau iuran dari murid-murid?.
“Pembayaran dilakukan atas patungan murid-murid dan memasang listrik sendiri yang berjumlah 3 kelas, 2 di kelas atas 1 di bawah,” kilahnya.
Soal atas nama siapa meteran listrik dan yang bayar siapa, dia menyebut bahwa meteran tersebut atas nama sekolah namun yang membayar adalah komite dan orang tua siswa.
Lanjut tim ZInews, “Lalu jika listrik yang membayar dari patungan anak-anak siswa, kemudian dana bos untuk apa? Bukankah selama ini anggaran pembayaran listrik juga masuk dalam BOS? Boleh dijelaskan, dengan penggunaan dan BOS tersebut?”.
Seorang wali kelas mengatakan, bahwa awak media (wartawan/LSM-red) tidak berhak mengetahui kemana aliran dana bos digunakan hanya BPK dan AUDITOR saja yang berhak mengetahui”.
Terkait hal ini, Dinas Pendidikan Kota Bekasi melalui Sekretaris Dinas Krisman, saat dikonfirmasi melalui aplikasi WhatsApp tidak ada jawaban. Bahkan saat didatangi ke kantornya tidak pernah bisa ditemui, sampai berita ini diturunkan.
Untuk diketahui, bahwa beberapa waktu lalu Dinas Pendidikan Kota Bekasi menyampaikan agar seluruh anggaran dana bos bisa di pantau oleh umum, sebagai bentuk transparansi dalam pengelolaan keuangan negara.
Dikutip dari Permendikbud bahwa pungutan dan sumbangan :
- Pungutan dan sumbangan memiliki definisi yang berbeda. Pasal 1 ayat (2) Permendikbud RI Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar menyebutkan, bahwa Pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar;
- Sedangkan sumbangan dijelaskan pada ayat (3), sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik, orangtua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.
Untuk itu, sekolah yang diselenggarakan pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang mengambil pungutan bagi biaya satuan pendidikan, hal itu secara tegas diatur dalam Pasal 9 Permendikbud RI Nomor 44 Tahun 2012. Bahkan sekolah-sekolah yang dimungkinkan melakukan pungutan seperti sekolah dikembangkan/dirintis bertaraf internasional, sekolah yang diselenggarakan masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah tetap tidak diperbolehkan melakukan pungutan kepada peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu secara ekonomis, dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar/kelulusan peserta didik serta pungutan tersebut tidak diperbolehkan untuk kesejahteraan anggota komite sekolah atau lembaga representasi pemangku kepentingan lainnya.
Yang dapat dilakukan oleh sekolah yang diselenggarakan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah hanya menerima sumbangan yang digunakan untuk memenuhi kekurangan biaya satuan pendidikan. Dan dimensi sumbangan dalam Permendikbud 44 Tahun 2012 adalah bersifat sukarela (tidak wajib), tidak memaksa, tidak mengikat dan jumlah maupun jangka waktunya tidak ditentukan oleh pihak sekolah, komite sekolah atau lembaga lain pemangku kepentingan satuan pendidikan. Artinya bentuk-bentuk pungutan semacam uang komite yang ditentukan jumlah dan jangka waktu pembayarannya tidak boleh dilakukan. Dan penting juga untuk dipahami bersama, pembangunan fisik semisal ruang kelas, rumah ibadah dan kendaraan operasional yang mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah bukanlah tanggung jawab peserta didik atau orang tua/walinya untuk merealisasikannya. Kepentingan tersebut merupakan kewajiban Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Sehingga realisasi pembangunan fisik penunjang penyelenggaraan kegiatan belajar tersebut harus diupayakan pihak sekolah dengan mengusulkan kepada pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan. Bila anggaran daerah memang tidak memungkinkan merealisasikan pembangunan dalam jangka waktu yang singkat sedangkan kebutuhan sekolah mendesak, pihak sekolah dapat mewacanakan kebutuhan tersebut kepada orang tua/wali peserta didik melalui komite sekolah. Dan tetap yang boleh dilakukan adalah sumbangan bukan pungutan. Dimensi hukum pungutan dan sumbangan ini dalam hal memenuhi kekurangan biaya satuan pendidikan, sehingga pungutan-pungutan lain seperti uang titipan, uang kenang-kenangan jelas merupakan perbuatan melawan hukum.
(yhana/tina)