Sexual Consent dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Foto; Marlina Siagian, SH/zi

Penulis : Marlina Siagian, SH, (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UNILA)

Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengeliminasi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Namun demikan, pada tahun 2020 terdapat 1.183 perempuan yang mengalami kekerasan seksual[1] serta pada periode Januari sampai dengan November 2021, terdapat 13.819 kasus kekerasan terhadap anak yang mana 46.7% nya merupakan kasus kekerasan seksual.[2] Lebih lanjut berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022, di sepanjang tahun 2021 terdapat 213 kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan.[3]

Tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan termasuk anak-anak serta tingginya kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan tersebut yang kemudian melatarbelakangi disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (selanjutnya disebut “UU TPKS”) setelah sebelumnya Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (selanjutnya disebut “Pemendikbudristek PPKS“).

UU TPKS merupakan upaya pembaharuan hukum untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual karena undang-undang yang telah ada dan yang mengatur mengenai kekerasan seksual belum sepenuhnya mampu merespons fakta peningkatan kasus kekerasan seksual yang terjadi serta belum memperhatikan hak-hak korban dan cenderung memviktimisasi korban. Selain itu, UU TPKS mengandung perspektif feminis dengan mendasarkan adanya kesadaran tentang relasi kuasa yang timpang secara gender di dalam masyarakat dan memberikan perhatian kepada pihak-pihak yang secara gender selama ini diabaikan dan tidak didengar pengalamannya.[4] Begitu juga dengan Permendikbudristek yang menjadi payung hukum pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi.

Namun demikian terdapat pro dan kontra atas UU TPKS dan Pemendikbudristek PPKS tersebut. Kelompok pro UU TPKS dan Permendikbudristek PPKS menganggap bahwa UU TPKS sangat diperlukan mengingat adanya ketimpangan dan ketidakadilan gender di Indonesia dalam bentuk subordinasi (pandangan yang menempatkan kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki sebagai bagian dari nilai-nilai patriarki yang hidup di masyarakat), marjinalisasi (perempuan tersingkirkan dalam proses pembangunan), stereotip (pandangan bahwa perempuan hanya mempunyai fungsi tertentu), multibeban (tidak adanya pembagian kerja yang adil antara perempuan dan laki-laki) serta diskriminasi (membedakan hak dan kewajiban yang merugikan perempuan)[5] sedangkan kelompok kontra menilai RUU TPKS dan Permendikbudristek PPKS mengadopsi sexual consent yang dianggap bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, UUD NKRI, peraturan perundang-undangan lainnya dan nilai-nilai budaya bangsa serta mengganggap sexual consent melegalisasi perbuatan asusila dan seks bebas (perzinaan).[6] Lantas apa sebenarnya sexual consent dan mengapa sexual consent dianggap melegalkan perzinaan?

Bacaan Lainnya

Sexual consent merupakan suatu persetujuan untuk berhubungan atau melakukan aktivitas seksual dengan seseorang (an agreement to participate in a sexual activity). Adapun asas sexual consent adalah freely given (persetujuan bebas dilakukan atas keinginan sendiri), reversible (dapat berubah/ dapat dibatalkan), informed (aktivitas seksual hanya boleh dilakukan sesuai dengan kesepakatan awal), enthusiastic (setiap pihak hanya melakukan apa yang ia inginkan bukan yang diharapkan pasangannya), dan specific (persetujuan hanya untuk satu jenis aktivitas seksual dan tidak dapat diterapkan pada aktivitas seksual lainnya)[7] sehingga berdasarkan definisi sexual consent yang dikorelasikan dengan asas-asas sexual consent maka pada prinsipnya apabila aktivitas seksual dilakukan tanpa adanya consent maka merupakan suatu bentuk kekerasan seksual (sexual activity without consent is rape or sexual assault).

Beberapa negara telah memasukkan sexual consent sebagai unsur untuk menentukan suatu perbuatan sebagai kekerasan seksual atau bukan. Penggunaan sexual consent sebagai unsur adanya kekerasan seksual telah lebih dahulu dilakukan oleh Kanada dimana pada tahun 1992, Kanada telah mengamandemen Rape Shield Law dengan memasukkan unsur sexual consent dari korban. Hal tersebut merubah unsur kekerasan fisik yang semula merupakan syarat utama untuk memidana pelaku.[8] Selain Kanada, negara-negara seperti Swedia, Belanda, Inggris, Irlandia, Bulgaria, Cyprus, Luxemburg dan Inggris Raya juga telah memasukkan consent di undang-undangnya masing-masing.[9] Langkah tersebut dilakukan untuk menjadikan sexual consent sebagai penentu apakah sebuah kekerasan seksual benar-benar terjadi atau tidak karena melalui sexual consent, Negara diberikan legitimasi untuk memberikan perlindungan dalam hubungan seksual yang tidak didasari consent karena dalam hubungan seksual yang didasari consent, Negara tidak memiliki kewenangan untuk dapat mengintervensi.[10] Selain itu, menjadikan sexual consent sebagai salah satu unsur adanya kekerasan seksual diharapkan dapat merubah pola pandang yang masih cenderung menyalahkan korban atas kekerasan seksual yang terjadi, seperti menjadikan perilaku korban di masa lalu atau baju apa yang korban kenakan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual.

Pandangan kontra terhadap sexual consent pun sebenarnya cukup beralasan dengan pemikiran bahwa sexual consent sebagai suatu paradigma dalam tindak pidana kekerasan seksual masih memiliki problematika karena sexual consent tidak memiliki kejelasan dimensi psikologis, tidak memiliki kejelasan bentuk apakah sexual consent diberikan melalui ucapan atau tindakan, atau apakah sexual consent tersebut ditunjukkan ataukah diisyaratkan, serta sexual consent belum memiliki standar karena ada beberapa perilaku seksual yang dilakukan dengan pemaksaan tetapi juga memiliki nilai consent seperti pada sadimasokisme.[11]

Namun demikian, sexual consent dalam UU TPKS dan Permendikbudristek PPKS tidaklah dimaksudkan untuk melegalkan perzinaan karena Pasal 5 ayat (3) Permendikbudristek PPKS mengecualikan persetujuan (consent) korban dalam hal korban; (a) memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (b) mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya, (c) mengalami kondisi dibawah pengaruh obat-obatan, alcohol dan/atau narkoba, (d) mengalami sakit, tidak sadar atau tertidur, (e) memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan, (f) mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility) dan/atau (g) mengalami kondisi terguncang sehingga meskipun ada persetujuan (consent) korban akan tetapi sepanjang persetujuan tersebut dibarengi dengan tindakan-tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) Permendikbudristek PPKS maka tetap merupakan kekerasan seksual karena pada prinsipnya sexual consent hanya berlaku bagi orang dewasa yang mampu memberikan persetujuan dan jika perbuatan seksual terjadi pada anak dengan disabilitas intelegensi yang belum atau tidak bisa memberikan persetujuan, maka termasuk dalam bentuk kekerasan seksual.

Pos terkait