TAPA

Foto/ist

Kartasura, ZI – Secara mudahnya bertapa adalah perilaku mengheningkan diri. Berasal dari dua kata yakni Ta dan Pa. Ta bermakna pitu, bisa ditafsirkan “Pitulungan” sedang Pa bermakna moksa, bisa ditafsirkan “Musna” alias hilang.

Garis besarnya Tapa dimengerti suatu usaha meraih pertolongan di awali dengan mengheningkan diri secara totalitas, sehingga hilang segala “Wulu Cumbu” yaitu hasrat keserakahan, kerakusan dan kesombongan.

Ini adalah “Lelaku” para “Wong Agung” zaman dahulu. Media pengejawantahan Leluhur Trah Jawa demi dan untuk meraih derajat “Wening, Wenang Lan Manunggal.”

Wening yaitu pikiran dan hati yang jernih. Wenang yaitu berkuasa atas dirinya sendiri, baik lahir maupun batin atau dapat diartikan perisai pengendalian diri.

Adapun Manunggal yaitu lebur kedalam titik nirwana, adalah kesadaran bahwasanya tiada yang menggerakkan diri kecuali bergerak atas titah Sang Maha Penguasa Jagat, Gusi Kang Murbengrat.

Bacaan Lainnya

Puncaknya kemudian menemukan kiblat sebagai “Kawula” sehingga “Tansah Sumarah Ing Ngarsaning Gusti Kang Murbeng Dumadi.” Agar tidak gagal memanusiakan diri, memanusiakan manusia dan menuhankan Tuhan.

Maka karakteristik seorang per-Tapa tidak gegabah dalam berbuat, berperilaku, berkata ataupun berfawa. Dia perlu proses panjang dalam menemukan sesuatu, mengerti sesuatu, memahami sesuatu, meyakini sesuatu, membuat sesuatu pun dalam mengajarkan sesuatu tidak “Ujug-ujug.” Artinya tidak instan!

Boleh jadi maraknya “Hoaks” hingga perdebatan, perpecahan, perseteruan dan jegal menjegal yang melanda negeri ini sebab tiada lagi ditemukan jiwa-jiwa per-Tapa. Semua semaunya, seenaknya dan serba tergesa-gesa “Tanpa Wates Lan Tanpa Petungan.” Benar disalahkan, salah dibenarkan, yang mulia dicaci maki, yang watak “Nista” dipuji-puji. Itu mengenaskan!

Wong Jawa aja ilang Jawane. Memayu hayuning bawana, waras!!!

(Sri Narendra Kalaseba)

Pos terkait