“Turun Gelanggang Berjuang Tuntut Perubahan, sampai Ancaman Mogok Sidang” Inilah Sepenggal Kisah Dalam Buku Kesaksian Perjuangan

Foto; Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrullah,SH, MH, Dirjen Dukcapil dan Ketua Ikatan Alumni FH UNS (kiri) bersama Djuyamto, SH, MH, (kanan)/ dok-ist

Jakarta, ZInews – Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Djuyamto buka-bukaan di balik gerakan ancaman mogok sidang satu dasawarsa silam. Hasilnya, kesejahteraan hakim meningkat setelah 10 tahun gajinya tidak dinaikkan negara.

Kisah Djuyamto itu dituangkan dalam buku ‘Kesaksian Perjuangan’. “Hanya para pemberani dan memiliki kesadaran sejarah yang berani untuk turun gelanggang berjuang menuntut perubahan keadaan yang lebih baik. Setidaknya sejarah telah mencatat bahwa apa yang mereka perjuangkan pada akhirnya dinikmati oleh semuanya,” kata Prof Basuki Rekso Wibowo dalam pengantar buku ‘Kesaksian Perjuangan’ yang dikutip detikcom.

Untuk mengingatkan bersama, gerakan ancaman mogok sidang pada 2012 bukannya tanpa alasan. Sebab, hakim menjadi pejabat yang tidak pernah naik gaji sejak 2002 atau satu dasawarsa lamanya. Segala perjuangan sudah dilakukan tapi menemui jalan buntu. Sehingga hakim-hakim muda dari berbagai daerah menyusun strategi agar nasib mereka diperhatikan negara. Namun, niat tulus hakim muda itu mendapat tafsir berbeda oleh pimpinan Mahkamah Agung (MA) kala itu.

“Saya sendiri sempat ‘diinterogasi’ oleh dua pimpinan Kamar tentang apa maksud dan tujuan saya ikut dalam pergerakan itu,” tutur Djuyamto.

Saat itu, posisi Djuyamto adalah Panitera Pengganti (PP) MA untuk hakim agung Suhadi. Saat itu, cara mendapat simpati negara terbelah dua. Satu kelompok hakim menempuh jalur gugatan lewat Mahkamah Konstitusi (MK), satu lagi memilih lewat gerakan massa.

Bacaan Lainnya

Untuk menggalang komunikasi massa, mereka menggunakan media sosial Facebook yang tergabung dalam Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI). Belakangan, FDHI harus ditutup pasca insiden kemarahan Ketua MA.

“Pada akhirnya, kedua jalan perjuangan itu membuahkan hasil PP 94/2012,” kata Djuyamto yang kini menjadi Humas PN Jaksel itu.

PP 94/2012 itu berisi kenaikan tunjangan hakim. Kini hakim yang baru dilantik mendapatkan penghasilan Rp 13 jutaan. Sedangkan Ketua Pengadilan Tinggi mencapai Rp 40 jutaan.

Dinamika terus memanas saat digelar Munas Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) di Denpasar. Muncul nama hakim agung Gayus Lumbuun dalam bursa. Namun nama itu resisten di beberapa kelompok hakim agung sehingga Gayus Lumbuun yang saat itu sebagai Ketua IKAHI MA kalah suara.

“Ada semacam gerakan top down/dari atas, dengan sandi ‘ABG’ (Asal Bukan Gayus),” kisah Djuyamto di halaman 79.

Dukungan terbuka Djuyamto kepada Gayus Lumbuun untuk kursi Ketum IKAHI membuat Djuyamto dipindahkan ke Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tiga tahun menjadi Ketua PN Dompu, Djuyamto akhirnya kembali bertugas di PN Bekasi. Setelah itu, Djuyamto berdinas di PN Jakut dan kini di PN Jaksel.

Lantas, apa kata Komisi Yudisial (KY) atas buku ini?

“Buku yang ditulis oleh seorang hakim yang sekaligus pelaku sejarah Djuyamto memberi gambaran kepada kita berbagai cerita di balik upaya tersebut. Kita banyak belajar banyak dari buku ini,” kata anggota KY, Binziad Kadafi.

Foto/dok-ist

Konfirmasi redaksi zonaintegritas.news ke Djuyamto baru-baru memperjelas tentang alasan dan dorongan apa sehingga melahirkan sebuah buku dengan judul “Kisah Perjuangan”, termasuk dalam pemilihan judul buku.

Ini petikannya,..

Kesaksian dalam bentuk serial catatan kecil terkait perjuangan hakim-hakim muda menuntut hak-hak konstitusional hakim telah usai saya tulis. Lazimnya sebuah kesaksian, tentu berdasarkan apa yang saya lihat, saya dengar, saya alami sendiri.

Namun pandangan maupun pendengaran saya juga ada batasnya, sehingga bisa saja ada yang luput atau keliru mengenai apa yang saya tuangkan dalam catatan, itulah sebabnya saya beri judul Nukilan Sejarah, karena barangkali ada segmen atau episode lain yang tidak saya ketahui dan alami, tapi bisa saya pastikan tak ada catatan yang berupa karangan cerita. Semua nyata terjadi.

Catatan kesaksian ini tidak diniatkan untuk tujuan mem-pahlawan-kan orang per orang atau kelompok apalagi saya pribadi. Namun semata hanya agar ada data dokumenter terkait peristiwa penting dan bersejarah dalam dinamika kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal ini sebenarnya sudah lama menjadi keinginan teman-teman aktivis Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) untuk membuat semacam buku putih. Namun setelah sekian lama belum terwujud karena kesibukan.

Keinginan saya pribadi untuk menulis catatan tersebut akhirnya makin kuat setelah pada awal tahun 2021 ada permintaan dari Ketua Kamar Pembinaan MA RI Prof Takdir Rahmadi melalui asisten beliau agar para aktivis FDHI mengirimkan catatan berupa kisah nyata saat memperjuangkan kesejahteraan hakim. Di mana dari catatan-catatan tersebut akan dijadikan sumber penyusunan buku putih yang akan ditulis beliau seputar perjuangan mewujudkan kesejahteraan hakim pada Kekuasaan Kehakiman. Mendengar permintaan tersebut, saya menjadi lega dan semangat, karena hal itu merupakan bentuk apresiasi dan pengakuan dari pimpinan MA atas apa yang telah sekian lama diperjuangkan para hakim muda dengan segala dinamikanya.

Merespon permintaan Ketua Kamar Pembinaan MA tersebut, maka kami (saya, pak Sunoto Abu Majid, pak Teguh Satya Bhakti, pak Saiful Majid Piliang) kemudian mempercayakan kepada pak D.y Witanto untuk menyusun catatan sejarah dimaksud dan setahu saya telah diserahkan kepada beliau.

Sedangkan mengapa saya masih menulis catatan tersendiri, pertimbangannya adalah guna melengkapi dokumentasi sejarah dalam perspektif kesaksian saya sendiri. Sumber-sumber catatan selain teman-teman aktivis FDHI, tentu juga pihak-pihak lain yang saya sebutkan baik itu personal maupun lembaga yang bisa dikonfirmasi kebenarannya. Kemudian link berita media online yang memuat berita mengenai peristiwa yang saya sebutkan dalam catatan juga menjadi salah satu sumbernya.

Akhirnya saya kembalikan semua catatan sejarah ini kepada para pembaca sepenuhnya, baik yang akan menyikapinya secara positif maupun sebaliknya. Namun tentu harapan saya, catatan sejarah ini setidaknya bisa menyumbangkan sedikit informasi mengenai sebuah episode upaya yang tidak mudah, yang dilakukan para hakim dalam memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Terima kasih atas semua pihak yang telah berkenan membaca dan meresponnya.

Demikian paparan singkat dari seorang hakim penulis buku KESAKSIAN PERJUANGAN Djuyamto, SH, MH, semoga kehadiran buku tersebut menjadi poin penting di lembaga terkait secara khusus Mahkamah Agung RI demi terwujudnya hak-hak konstitusional hakim Indonesia.

(raja)

Pos terkait